KEBIJAKAN FISKAL

Penting Diketahui! Setiap Belanja Perpajakan Belum Tentu Capai Tujuan

Denny Vissaro | Senin, 27 April 2020 | 14:45 WIB
Penting Diketahui! Setiap Belanja Perpajakan Belum Tentu Capai Tujuan

KETIKA perlemahan ekonomi masih belum dapat dipastikan ujungnya, tuntutan terhadap relaksasi pajak dari berbagai kalangan diperkirakan akan meningkat. Keadaan ini semakin menunjukkan bahwa kebijakan pajak disusun tidak hanya untuk mengumpulkan penerimaan, tapi juga untuk menginsentif perilaku ekonomi atau sosial tertentu.

Atas dasar tujuan tersebut, pemerintah memilih instrumen kebijakan pajak sebagai bentuk belanja tidak langsung atau belanja perpajakan (tax expenditure) ketimbang subsidi langsung.

Bentuk ‘belanja’ tersebut dapat dipahami sebagai suatu kebijakan yang merupakan deviasi atau ‘penyimpangan’ dari kebijakan yang berlaku umum. Untuk itu, dibutuhkan pertimbangan yang mendalam, terukur, serta objektif agar langkah tersebut tepat sasaran.

Baca Juga:
Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Hal tersebut dikarenakan belanja perpajakan mengurangi potensi penerimaan pajak yang dapat dioptimalkan. Ditambah lagi, pengorbanan ini belum tentu efektif mencapai tujuan. Adanya evaluasi akan membantu menjamin agar setiap rupiah yang direlakan dari penerimaan pajak dapat menghasilkan manfaat sesuai yang diharapkan melalui kebijakan yang akuntabel.

Di Amerika Serikat, evaluasi tersebut turut dilakukan oleh Tax Policy Center dari Urban Institute dan Brookings Institution. Publikasi mereka pada Januari 2020 yang disusun oleh Frank Sammartino dan Eric Toder berjudul 'Are Tax Expenditures Worth the Money?' berisikan tentang cara mereka mengevaluasi beberapa deviasi kebijakan pajak.

Mereka melihat beberapa kebijakan belanja perpajakan perlu ditinjau ulang agar lebih tepat sasaran serta efisien. Dalam mengevaluasi belanja perpajakan, terdapat beberapa pertanyaan kritis yang mereka ajukan.

Baca Juga:
Realisasi Pajak Rokok di Sumsel Tak Capai Target, Ini Penyebabnya

Pertama¸ apa tujuan kebijakan yang ingin dicapai dari belanja perpajakan tersebut? Apakah memang dibutuhkan intervensi dari pemerintah? Jika peran serta masyarakat atau swasta dapat diandalkan, seharusnya intervensi berupa relaksasi pajak tidak diperlukan.

Kedua, apabila terdapat keputusan atau perilaku ekonomi tertentu yang diharapkan dari belanja perpajakan tersebut, apakah tindakan tersebut menguntungkan masyarakat luas atau hanya penerima insentif tersebut saja? Apakah terdapat efek pengganda (multiplier effect) yang ditimbulkan?

Ketiga, apakah terdapat justifikasi mengapa penerima manfaat dari belanja perpajakan layak menerima bantuan? Apakah ada wajib pajak lain yang mengalami kondisi serupa yang justru mendapat beban pajak lebih besar? Sebab, kebijakan belanja perpajakan seharusnya tidak melanggar prinsip keadilan.

Baca Juga:
Gratis! Download 10 Buku Pajak yang Diterbitkan DDTC

Keempat, apakah terdapat lebih dari satu instrumen kebijakan belanja perpajakan atas tujuan yang sama? Jika iya, apakah hal tersebut menciptakan inefisiensi sehingga salah satu perlu dieliminasi?

Kelima, adakah substitusi kebijakan lain yang dapat menggantikan kebijakan belanja perpajakan tersebut? Jika ada, apakah pilihan tersebut lebih efektif dan efisien?

Menurut kedua penulis tersebut, Jika tidak terdapat jawaban yang kuat atas kelima pertanyaan di atas, pemerintah perlu mempertimbangkan merevisi atau mengeliminasi kebijakan tersebut. Intinya, pemerintah harus menjamin bahwa relaksasi pajak yang diberikan harus berdampak langsung pada upaya mencapai tujuan kebijakan tersebut diadakan.

Baca Juga:
Ada Kenaikan Tarif PPN, DJP Tetap Optimalkan Penerimaan Tahun Depan

Salah satu kebijakan belanja perpajakan yang Sammartino dan Toder tinjau adalah aturan terkait kegiatan donasi sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Mereka menilai tujuan yang ingin dicapai sudah tepat, tapi masih banyak kegiatan donasi yang belum tercakup dalam aturan tersebut.

Selain cakupannya perlu diperluas, mereka menilai batasan pengurangan dengan hanya memperbolehkan besaran persentase tertentu yang dapat menjadi pengurang tidak tepat. Sebaliknya, mereka menekankan perlu adanya kegiatan donasi minimum sebesar nilai atau persentase tertentu dari total penghasilan agar dapat dijadikan pengurang pajak. Dengan begitu, orang akan semakin terinsentif melakukan donasi.

Kegiatan belanja perpajakan lainnya yang dinilai perlu direvisi adalah kebijakan terkait biaya pendidikan sebagai kredit pajak. Seiring meningkatnya variasi kebutuhan pendidikan, mereka menilai perlunya perluasan dan percepatan dalam pemberian kredit pajak yang timbul dari biaya pendidikan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan kecil.

Baca Juga:
DDTC Rilis Buku SDSN UU KUP, PPh, dan PPN Terbaru Versi Bahasa Inggris

Pada akhirnya, laporan semacam ini menunjukkan pentingnya keterlibatan pemangku kepentingan sistem pajak agar turut secara kritis mengevaluasi belanja perpajakan yang ada dalam suatu negara. Apalagi, dengan konteks dan situasi adanya pandemi Covid-19 saat ini, pemerintah tengah menggelontorkan berbagai bentuk relaksasi pajak.

Dengan dipublikasikannya laporan belanja perpajakan di Indonesia, semoga masyarakat semakin berpartisipasi untuk mengawal kebijakan-kebijakan tersebut secara objektif dan kritis. Setiap studi dan masukan yang konstruktif tentunya akan membantu menjamin setiap penerimaan negara yang dikorbankan melalui relaksasi pajak dapat dinikmati masyarakat secara optimal dan tepat sasaran.*

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:13 WIB KANWIL DJP JAKARTA KHUSUS

Jelang Tutup Tahun, Realisasi Pajak Kanwil Khusus Capai 95% Target

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:30 WIB PROVINSI SUMATERA SELATAN

Realisasi Pajak Rokok di Sumsel Tak Capai Target, Ini Penyebabnya

Selasa, 24 Desember 2024 | 09:12 WIB LITERATUR PAJAK

Gratis! Download 10 Buku Pajak yang Diterbitkan DDTC

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:30 WIB KOTA BATAM

Ada Pemutihan, Pemkot Berhasil Cairkan Piutang Pajak Rp30 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Bagaimana Cara Peroleh Diskon 50 Persen Listrik Januari-Februari 2025?