KETIKA perlemahan ekonomi masih belum dapat dipastikan ujungnya, tuntutan terhadap relaksasi pajak dari berbagai kalangan diperkirakan akan meningkat. Keadaan ini semakin menunjukkan bahwa kebijakan pajak disusun tidak hanya untuk mengumpulkan penerimaan, tapi juga untuk menginsentif perilaku ekonomi atau sosial tertentu.
Atas dasar tujuan tersebut, pemerintah memilih instrumen kebijakan pajak sebagai bentuk belanja tidak langsung atau belanja perpajakan (tax expenditure) ketimbang subsidi langsung.
Bentuk ‘belanja’ tersebut dapat dipahami sebagai suatu kebijakan yang merupakan deviasi atau ‘penyimpangan’ dari kebijakan yang berlaku umum. Untuk itu, dibutuhkan pertimbangan yang mendalam, terukur, serta objektif agar langkah tersebut tepat sasaran.
Hal tersebut dikarenakan belanja perpajakan mengurangi potensi penerimaan pajak yang dapat dioptimalkan. Ditambah lagi, pengorbanan ini belum tentu efektif mencapai tujuan. Adanya evaluasi akan membantu menjamin agar setiap rupiah yang direlakan dari penerimaan pajak dapat menghasilkan manfaat sesuai yang diharapkan melalui kebijakan yang akuntabel.
Di Amerika Serikat, evaluasi tersebut turut dilakukan oleh Tax Policy Center dari Urban Institute dan Brookings Institution. Publikasi mereka pada Januari 2020 yang disusun oleh Frank Sammartino dan Eric Toder berjudul 'Are Tax Expenditures Worth the Money?' berisikan tentang cara mereka mengevaluasi beberapa deviasi kebijakan pajak.
Mereka melihat beberapa kebijakan belanja perpajakan perlu ditinjau ulang agar lebih tepat sasaran serta efisien. Dalam mengevaluasi belanja perpajakan, terdapat beberapa pertanyaan kritis yang mereka ajukan.
Pertama¸ apa tujuan kebijakan yang ingin dicapai dari belanja perpajakan tersebut? Apakah memang dibutuhkan intervensi dari pemerintah? Jika peran serta masyarakat atau swasta dapat diandalkan, seharusnya intervensi berupa relaksasi pajak tidak diperlukan.
Kedua, apabila terdapat keputusan atau perilaku ekonomi tertentu yang diharapkan dari belanja perpajakan tersebut, apakah tindakan tersebut menguntungkan masyarakat luas atau hanya penerima insentif tersebut saja? Apakah terdapat efek pengganda (multiplier effect) yang ditimbulkan?
Ketiga, apakah terdapat justifikasi mengapa penerima manfaat dari belanja perpajakan layak menerima bantuan? Apakah ada wajib pajak lain yang mengalami kondisi serupa yang justru mendapat beban pajak lebih besar? Sebab, kebijakan belanja perpajakan seharusnya tidak melanggar prinsip keadilan.
Keempat, apakah terdapat lebih dari satu instrumen kebijakan belanja perpajakan atas tujuan yang sama? Jika iya, apakah hal tersebut menciptakan inefisiensi sehingga salah satu perlu dieliminasi?
Kelima, adakah substitusi kebijakan lain yang dapat menggantikan kebijakan belanja perpajakan tersebut? Jika ada, apakah pilihan tersebut lebih efektif dan efisien?
Menurut kedua penulis tersebut, Jika tidak terdapat jawaban yang kuat atas kelima pertanyaan di atas, pemerintah perlu mempertimbangkan merevisi atau mengeliminasi kebijakan tersebut. Intinya, pemerintah harus menjamin bahwa relaksasi pajak yang diberikan harus berdampak langsung pada upaya mencapai tujuan kebijakan tersebut diadakan.
Salah satu kebijakan belanja perpajakan yang Sammartino dan Toder tinjau adalah aturan terkait kegiatan donasi sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Mereka menilai tujuan yang ingin dicapai sudah tepat, tapi masih banyak kegiatan donasi yang belum tercakup dalam aturan tersebut.
Selain cakupannya perlu diperluas, mereka menilai batasan pengurangan dengan hanya memperbolehkan besaran persentase tertentu yang dapat menjadi pengurang tidak tepat. Sebaliknya, mereka menekankan perlu adanya kegiatan donasi minimum sebesar nilai atau persentase tertentu dari total penghasilan agar dapat dijadikan pengurang pajak. Dengan begitu, orang akan semakin terinsentif melakukan donasi.
Kegiatan belanja perpajakan lainnya yang dinilai perlu direvisi adalah kebijakan terkait biaya pendidikan sebagai kredit pajak. Seiring meningkatnya variasi kebutuhan pendidikan, mereka menilai perlunya perluasan dan percepatan dalam pemberian kredit pajak yang timbul dari biaya pendidikan, terutama bagi masyarakat berpenghasilan kecil.
Pada akhirnya, laporan semacam ini menunjukkan pentingnya keterlibatan pemangku kepentingan sistem pajak agar turut secara kritis mengevaluasi belanja perpajakan yang ada dalam suatu negara. Apalagi, dengan konteks dan situasi adanya pandemi Covid-19 saat ini, pemerintah tengah menggelontorkan berbagai bentuk relaksasi pajak.
Dengan dipublikasikannya laporan belanja perpajakan di Indonesia, semoga masyarakat semakin berpartisipasi untuk mengawal kebijakan-kebijakan tersebut secara objektif dan kritis. Setiap studi dan masukan yang konstruktif tentunya akan membantu menjamin setiap penerimaan negara yang dikorbankan melalui relaksasi pajak dapat dinikmati masyarakat secara optimal dan tepat sasaran.*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.