Tim Ahli Kebijakan Pajak Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (PERTAPSI) sekaligus Partner DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji.
JAKARTA, DDTCNews - Kinerja penerimaan pada 2023 akan dihadapkan setidaknya oleh 2 tantangan utama, yakni normalisasi harga komoditas dan tambahan penerimaan pajak yang tidak berulang.
Tim Ahli Kebijakan Pajak Perkumpulan Tax Center dan Akademisi Pajak Seluruh Indonesia (PERTAPSI) sekaligus Partner DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji mengatakan commodity price index menunjukkan adanya penurunan harga komoditas setelah trennya sempat menanjak pada beberapa waktu terakhir.
"Apakah faktor-faktor fundamental yang membuat [tingginya] penerimaan pajak 2022 ini akan terulang pada 2023? Sepertinya tidak terlalu besar lagi," ujar Bawono dalam Seminar Nasional Tax Outlook 2023 yang digelar oleh PERTAPSI, Senin (12/12/2022).
Pada tahun ini, lonjakan harga komoditas memiliki peran yang besar dalam menyokong penerimaan pajak. Kontribusi dari booming komoditas tersebut tampak pada kinerja penerimaan negara bukan pajak sumber daya alam (PNBP SDA), bea keluar, serta PPh badan.
Adapun tambahan penerimaan yang tidak berulang pada tahun depan antara lain tambahan penerimaan dari kenaikan tarif PPN dan penerimaan PPh final dari program pengungkapan sukarela (PPS) yang berlangsung sepanjang paruh pertama 2022.
Terhitung sejak April hingga Oktober 2022, kenaikan tarif PPN dari 10% menjadi 11% telah memberikan tambahan penerimaan senilai Rp43,43 triliun. Adapun penyelenggaraan PPS telah memberikan tambahan penerimaan senilai Rp61 triliun pada Januari hingga Juni 2022.
Untuk meningkatkan potensi penerimaan, pemerintah perlu mengoptimalkan implementasi UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). "Tantangannya lebih terhadap implementasi UU HPP, misalkan pajak natura, fasilitas PPN. Ini sebenarnya yang akan menghiasi ruang diskusi kita pada 2023," ujar Bawono.
Selain kedua faktor di atas, kondisi perekonomian global 2023 juga patut menjadi pertimbangan. Akibat resesi global, kinerja pertumbuhan ekonomi Indonesia 2023 diperkirakan akan melambat bila dibandingkan dengan tahun ini.
Berbagai lembaga internasional memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya akan tumbuh sebesar 4,7% hingga 5% pada tahun depan. Angka proyeksi tersebut berada di bawah asumsi pertumbuhan ekonomi pada APBN 2023 yang sebesar 5,3%.
Inflasi yang tinggi di negara-negara maju juga akan mendorong pengetatan kebijakan moneter secara agresif oleh bank sentral. "Ini akan menjadi hal yang umum atau lumrah terjadi pada 2023," ujar Bawono.
Pada tahun depan, penerimaan pajak ditargetkan mencapai Rp1.718 triliun atau bertumbuh 6,8% bila dibandingkan dengan outlook penerimaan pajak pada tahun ini. Bawono berpandangan bila outlook penerimaan pajak pada 2022 dapat dicapai, target penerimaan pajak pada tahun depan sangat mungkin untuk dipenuhi.
"Kalau outlook-nya tercapai, sebenarnya starting point-nya itu sudah bagus dan kita tidak terlalu ngoyo karena pertumbuhan natural pajak di Indonesia dalam 1 dekade terakhir itu 7-8%. Jadi ibaratnya ini masih di bawah batas aman," ujar Bawono. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.