PEMBANGUNAN infrastruktur dan rumah semakin banyak dilakukan dari tahun ke tahun. Banyaknya pembangunan tersebut menjadi potensi penerimaan pajak daerah yang bisa untuk digali dan dioptimalkan.
Mulanya, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1994 dan saat ini menjadi kewenangan pemerintah pusat. Selanjutnya, melalui Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), kewenangan pemungutan jenis pajak ini dialihkan kepada pemerintah daerah (Pemda).
Setidaknya terdapat empat pertimbangan dalam mengalihkan kewengan pemungutan PBB-P2 dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (DJPK, 2014).
Pertama, secara konseptual PBB-P2 dapat dipungut oleh daerah karena lebih bersifat lokal, visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah (immobile), dan terdapat hubungan erat antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil pajak tersebut. Kedua, pengalihan PBB-P2 kepada daerah diharapkan dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dan memperbaiki struktur APBD.
Ketiga, pengalihan PBB-P2 kepada daerah dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dan memperbaiki aspek transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya. Keempat, berdasarkan praktik di banyak negara, PBB-P2 termasuk dalam jenis local tax.
Lantas, bagaimanakah kebijakan pemungutan PBB-P2 saat ini? Merujuk pada Pasal 1 angka 37 UU PDRD, PBB-P2 didefinisikan sebagai pajak atas bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Bumi diartikan sebagai permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah kabupaten/kota. Sementara bangunan ialah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan pedalaman dan/atau laut.
Berdasarkan Pasal 77 ayat (1) UU PDRD, objek PBB-P2 ialah bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
Lebih lanjut, dalam Pasal 77 ayat (2) UU PDRD telah disebutkan beberapa hal yang termasuk dalam pengertian bangunan, antara lain: jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut; jalan tol; kolam renang; pagar mewah; tempat olahraga; galangan kapal, dermaga; taman mewah; tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; menara.
Namun demikian, tidak semua bumi dan/bangunan dikategorikan sebagai objek PBB-P2 dan dapat dikenakan pajak. Terdapat enam objek pajak yang tidak dikenakan PBB-P2 sebagai berikut.
Selanjutnya, orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan ditetapkan menjadi subjek pajak.
Sementara wajib pajaknya ialah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan.
Pemungutan PBB-P2 dilakukan berdasarkan nilai jual objek pajak (NJOP). Perhitungan NJOP diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar. Apabila tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP tersebut ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis atau nilai perolehan baru atau NJOP pengganti.
Mengacu Pasal 79 ayat (2) UU PDRD, besaran NJOP tersebut akan ditetapkan setiap tiga tahun oleh Pemda, kecuali untuk objek pajak tertentu yang dapat ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan wilayahnya.
Adapun pemerintah juga telah menetapkan batas nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP) paling rendah senilai Rp10.000.000 untuk setiap wajib pajak. Masing-masing daerah dapat menetapkan lebih lanjut NJOPTKP di wilayahnya sehingga tidak heran jika besaran setiap daerah berbeda. Misalnya, Pemda Kota Bandung menetapkan NJOPTKP senilai Rp25.000.000. Berbeda dengan Kota Surabaya yang NJOPTK- nya hanya Rp15.000.000.
Adapun tarif PBB-P2 ditetapkan paling tinggi sebesar 0,3%. Pemda dapat menetapkan besaran tarif tersebut berdasarkan potensi pajak di wilayahnya. Berikut perbandingan tarif PBB-P2 di lima kabupaten/kota.
Besaran pokok PBB-P2 yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan pajak setelah dikurangi NJOPTKP. Pemungutan PBB-P2 dilakukan dalam jangka waktu satu tahun kalender. Pajak terutangnya ditentukan menurut keadaan objek pajak pada 1 Januari dan di wilayah daerah letak objek pajak tersebut.
Dalam proses pemungutannya, pendataan PBB-P2 dilakukan dengan menggunakan surat pemberitahuan objek pajak (SPOP). SPOP adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk melaporkan data subjek dan objek PBB-P2 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah.
SPOP tersebut harus diisi dengan jelas, benar, dan lengkap serta ditandatangani dan disampaikan kepada kepala daerah yang wilayah kerjanya meliputi letak objek pajak, selambat-lambatnya 30 hari kerja setelah tanggal diterimanya SPOP oleh subjek pajak.
Berdasarkan SPOP, selanjutnya, kepala daerah menerbitkan surat yang digunakan untuk memberitahukan besarnya PBB-P2 yang terutang kepada wajib pajak atau disebut surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT).
Kemudian, apabila SPOP tidak disampaikan wajib pajak sehingga ada teguran tertulis dan terdapat jumlah pajak yang kurang bayar, kepala daerah dapat mengeluarkan surat ketetapan pajak daerah (SKPD).*
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.