PRANCIS

Pajak Minimum Global, Negosiator Berharap Dukungan China

Muhamad Wildan | Rabu, 30 Juni 2021 | 19:46 WIB
Pajak Minimum Global, Negosiator Berharap Dukungan China

Ilustrasi. 

PARIS, DDTCNews – Negosiator dari yurisdiksi-yurisdiksi pendukung pengenaan pajak korporasi minimum global terus berupaya mendorong China dan beberapa negara lain untuk memberikan dukungan terhadap rezim pajak baru tersebut.

Berdasarkan pada laporan Financial Times, negara-negara seperti China, India, negara-negara Eropa Timur, dan negara berkembang tidak sepenuhnya mendukung usulan tarif pajak minimum 15% yang disepakati G7. Akibatnya, negosiasi diperkirakan akan diliputi ketidakpastian.

"Saya kira konsensus tidak akan gagal. Memang banyak ketidakpastian, tetapi kita sudah dekat dengan konsensus," ujar salah satu negosiator, dikutip pada Rabu (30/6/2021).

Baca Juga:
Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Menurut para negosiator, saat ini adalah kesempatan terakhir untuk mencapai konsensus. Salah satu negosiator yang mewakili negara di Kawasan Eropa mengatakan bila konsensus tidak tercapai saat ini, semua negara harus memulai ulang negosiasi untuk 20 tahun ke depan.

Untuk saat ini, China dan beberapa negara Eropa Timur tidak sepenuhnya mendukung pajak korporasi minimum global dengan tarif 15%. Hal ini dikarenakan yurisdiksi-yurisdiksi tersebut memberikan insentif pajak yang besar kepada perusahaan manufaktur.

Pajak korporasi yang dikenakan atas sektor manufaktur oleh Pemerintah China dan negara-negara Eropa Timur tercatat lebih rendah dibandingkan dengan kesepakatan G7 sebesar 15%. Oleh karena itu, para perwakilan dari negara-negara yang mendukung tarif minimum 15% sedang mencari cara agar konsensus tetap memberikan manfaat bagi China.

Baca Juga:
Penerapan Pilar 1 Amount A Butuh Aturan yang Berkepastian Hukum Tinggi

"Sesungguhnya tidak ada seorangpun yang mengetahui posisi China saat ini. Mereka mengulur-ulur waktu dan membiarkan semua opsi terbuka," ujar salah satu negosiator yang mewakili negara Eropa.

Negara-negara berkembang juga diketahui tidak terlalu puas dengan kesepakatan yang dicapai G7. Menurut beberapa negara berkembang, tarif 15% yang disetujui G7 tidak dapat memberikan tambahan yang signifikan terhadap penerimaan pajak.

Negara yang tergabung dalam G24 bahkan mengancam akan tetap mengenakan pajak digital secara unilateral di luar skema Pillar 1: Unified Approach bila G24 tidak mendapatkan bagian pajak yang signifikan dari rezim hasil konsensus.

Baca Juga:
Menginterpretasikan Laba Usaha dalam P3B (Tax Treaty), Baca Buku Ini

Ketidakpuasan negara-negara berkembang ini setidaknya terkonfirmasi oleh pernyataan perwakilan Nigeria di OECD, Mathew Gbonjubola. Dia mengatakan tarif pajak minimum 15% tidak memiliki manfaat yang besar kepada negara-negara Afrika. Skema itu juga kemungkinan besar tidak akan mampu mencegah penggerusan basis pajak yang terjadi di Afrika.

Seperti diketahui, G24 adalah organisasi negara berkembang yang dianggotai oleh negara-negara dari Afrika, Amerika Latin, dan Asia. Negara yang tergabung dalam G24 contohnya antara lain China, India, Brazil, Argentina, Nigeria, Kenya, hingga Afrika Selatan. Adapun Indonesia termasuk salah satu dari 4 observer dalam G24. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 16 Oktober 2024 | 13:20 WIB BUKU PAJAK

Meninjau Aspek Keadilan dari Konsensus Pajak Minimum Global

Rabu, 09 Oktober 2024 | 16:17 WIB KONSENSUS PAJAK GLOBAL

Penerapan Pilar 1 Amount A Butuh Aturan yang Berkepastian Hukum Tinggi

Rabu, 09 Oktober 2024 | 13:45 WIB LITERATUR PAJAK

Menginterpretasikan Laba Usaha dalam P3B (Tax Treaty), Baca Buku Ini

Senin, 07 Oktober 2024 | 09:05 WIB BERITA PAJAK HARI INI

Demi Industri Pionir, Periode Tax Holiday Dipastikan akan Diperpanjang

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN