KALAU ada pemilihan Bapak Pajak Final di Indonesia, barangkali sudah bisa dipastikan dialah pemenangnya: Fuad Bawazier, Dirjen Pajak periode 1993-1998.
Meski sudah ada sejak munculnya Paket UU Perpajakan Tahun 1983, istilah ‘pajak final’ praktis baru populer di Indonesia pada masa dirinya memimpin Ditjen Pajak.
Pada periode tersebut, mantan aktivis mahasiswa kelahiran Tegal, 67 tahun silam itu memang sangat getol menerapkan pajak final.
Pada masa itulah berbagai peraturan teknis pengenaan pajak final bermunculan, mulai dari pajak penghasilan untuk jasa konstruksi sampai penjualan rokok kretek.
Bahkan saking getolnya mengenakan pajak final, sampai-sampai muncul anekdot di kalangan terbatas pemerhati perpajakan. “Kalau bisa, semua pajak mungkin akan difinalkannya.”
Dalam suatu kesempatan, Fuad sendiri mengakui ikhwal ‘kegemarannya’ tersebut. Menurut dia, bahwa pajak final bisa dinilai tidak adil memang benar.
“Tapi pajak final itu lebih mudah dan praktis. Pajak final itu pas, cocok untuk kondisi di Indonesia yang kepatuhannya rendah,” katanya kepada wartawan di tahun 1995.
Tentu, Fuad tak sendirian. Pada 2008, di era Dirjen Pajak Darmin Nasution, ide pengenaan pajak final kembali dihidupkan, bahkan berlanjut sampai era Dirjen Pajak A. Fuad Rahmany.
Memang, adil atau tidak adalah satu hal. Mudah dan praktis hal lain. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.