JAKARTA, DDTCNews – Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) bersama Filantropi Indonesia (FI) saat ini tengah melakukan kajian mengenai kebijakan insentif pajak untuk filantropi. Pasalnya, insentif pajak untuk filantropi di Indonesia saat ini dinilai masih belum efektif.
Pada umumnya, insentif tersebut diberikan bagi donor atau filantropi, baik individu maupun perusahaan, sebagai faktor pengurang penghasilan kena pajak (tax deduction). Adapun dari sisi penerima donor, besaran dana yang diterima tidak dianggap sebagi objek penghasilan (tax exemption).
Senior Partner DDTC Danny Septriadi menegaskan seluruh wajib pajak sangat bisa melakukan aktivitas filantropi maupun Corporate Social Responsibility (CSR) sebagai bentuk tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Namun, dengan catatan, perusahaan atau individu tersebut juga dapat memastikan bahwa kewajiban pajaknya sudah terpenuhi.
Pasalnya, pajak merupakan iuran wajib yang harus diberikan perusahaan/individu yang menjalankan usahanya di Indonesia. Sementara kegiatan filantropi sifatnya lebih kepada sukarela.
“Tugas wajib pajak yaitu bayar pajak dengan akurat, setelahnya baru melakukan filantropi. Jangan sampai perusahaan maupun orang pribadi membayar pajak masih belum benar tapi justru mereka mendapat popularity dari filantropi,” ujarnya saat menghadiri Focus Group Discussion bersama PSHK dan FI di Hotel Morissey, Jakarta, Selasa (24/1).
Karena itu, ia mengimbau agar pelaku filantropi tetap memerhatikan keakuratan dalam memenuhi kewajiban pajaknya, di samping memberikan bantuan sosial kepada publik. Hal ini perlu dilakukan guna menghindari adanya potensi kasus pajak yang dapat memengaruhi reputasi pelaku filantropi tersebut.
Apalagi dengan adanya pandangan yang menganggap kegiatan filantropi yang dilakukan perusahaan dapat dimanfaatkan sebagai tax planning, karena adanya kesempatan untuk mengurangi beban pajaknya.
Rezim Insentif Pajak Filantropi di Indonesia
Sebagai informasi, pada umumnya insentif pajak untuk filantropi diberikan dalam dua bentuk yaitu tax deduction dan tax exemption.
Di Indonesia kebijakan insentif pajak untuk filantropi yang diberikan dalam bentuk tax deduction ini diatur dalam UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), yang diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah No. 93 Tahun 2010 tentang Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Keuangan juga telah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 76/PMK.03/2011 tentang Tata Cara Pencatatan dan Pelaporan Sumbangan Penanggulangan Bencana Nasional, Sumbangan Penelitian dan Pengembangan, Sumbangan Fasilitas Pendidikan, Sumbangan Pembinaan Olahraga, dan Biaya Pembangunan Infrastruktur Sosial yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan Bruto.
Adapun insentif dalam bentuk tax exemption lebih mengarah kepada perlakuan perpajakan untuk penerima sumbangan atau organisasi nirlaba. Dalam hal ini terdapat dua macam perlakuan. Perlakuan pertama adalah untuk bantuan atau sumbangan dan harta hibahan yang diterima oleh organisasi nirlaba, di mana diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a UU PPh.
Sementara peraturan lebih detail tentang hal ini dijabarkan melalui PMK Nomor 245/PMK.03/2008 tentang Badan-Badan dan Orang Pribadi yang Menjalankan Usaha Mikro dan Kecil yang Menerima Harta Hibah, Bantuan, atau Sumbangan yang Tidak Termasuk sebagai Objek Pajak Penghasilan (PMK 245/2008).
Kemudian perlakuan kedua adalah mengenai sisa lebih yang diterima atau diperoleh oleh organisasi nirlaba yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf m UU PPh. Hal ini diatur lebih mendetail dalam PMK Nomor 80/PMK.03/2009 tentang Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan, yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan (PMK 80/2009).
Pada tatanan selanjutnya, dikeluarkan pula Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 44/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Pengakuan Sisa Lebih yang Diterima atau Diperoleh Badan atau Lembaga Nirlaba yang Bergerak Dalam Bidang Pendidikan dan/atau Bidang Penelitian dan Pengembangan yang Dikecualikan dari Objek Pajak Penghasilan (PER-44/2009).
Kendati demikian, banyak pihak menilai aturan-aturan insentif pajak tersebut belum cukup memberikan pedoman yang jelas, terutama berkaitan dengan kurang luasnya cakupan insentif dan bagaimana mekanisme administratifnya berjalan.
FGD Insentif Pajak atas Kegiatan Filantropi
Kegiatan filantropi di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun. Namun, dari sisi perpajakan, khususnya insentif pajak, pelaku filantropi masih menghadapi berbagai kendala. Untuk itu PSHK dan FI menyelenggarakan kegiatan FGD.
Kegiatan FGD itu bertujuan untuk memperoleh masukan, pendapat, dan usulan dari para narasumber dalam rangka mencari solusi atas permasalahan insentif pajak atas filantropi di Indonesia.
Dalam kesempatan itu, beberapa narasumber dan peserta diskusi ikut berbicara aktif mengenai persoalan ini, seperti Direktur Eksekutif FI Hamid Abidin, Director of Communication and Knowledge Management PSHK M. Faiz Aziz, Peneliti Koalisi Seni Indonesia Hafez Gumay, Direktur Usaha Sosial Dompet Dhuafa Rini Suprihartini, dan Perwakilan Knowledge Sector Initiative Whisnu Yonar Anggono. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.