Gedung Mahkamah Konstitusi. (foto: Antara)
JAKARTA, DDTCNews - Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 114/PUU-XX/2022 menolak permohonan pengujian materiil yang diajukan atas UU 7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu).
Dalam amar putusannya, majelis menolak seluruh permohonan para pemohon sehingga pemilu legislatif pada 2024 akan digelar dengan tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.
"Dalil-dalil para pemohon yang pada intinya menyatakan sistem proporsional dengan daftar terbuka sebagaimana ditentukan dalam norma Pasal 168 ayat (2) UU 7/2017 bertentangan dengan UUD 1945 adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya," bunyi Putusan MK Nomor 114/PUU-XX/2022, dikutip Jumat (16/6/2023).
Dalam pertimbangan hukum yang disampaikan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, MK berpandangan partai politik masih memiliki otoritas penuh dalam menentukan bakal calon anggota legislatif.
Setelah anggota DPR/DPRD terpilih, partai politik bahkan memiliki kewenangan untuk mengevaluasi anggotanya yang duduk di DPR/DPRD dan menggantinya dengan anggota lain lewat mekanisme pergantian antarwaktu (PAW).
"Dengan adanya pelembagaan mekanisme PAW tersebut maka para anggota DPR/DPRD dituntut untuk tetap bersikap loyal dan berkomitmen terhadap garis kebijakan partai politiknya," tutur Saldi.
Lebih lanjut, Hakim MK Suhartoyo menuturkan sistem proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.
Sistem proporsional terbuka dianggap lebih demokratis karena pemilih memiliki kebebasan untuk memilih calon anggota legislatif yang dianggap mewakili aspirasi mereka. Dengan demikian, terdapat hubungan yang lebih dekat antara pemilih dan wakil yang terpilih.
Namun, sistem proporsional terbuka juga memiliki kelemahan karena memberikan ruang terjadinya money politics. Akibatnya, calon anggota legislatif dengan sumber daya finansial yang besar bisa dengan mudah memengaruhi pilihan pemilih.
Sementara itu, kelebihan dari sistem proporsional tertutup ialah partai politik dapat lebih mudah mengawasi dan mengontrol anggotanya di lembaga legislatif. Kendati demikian, sistem ini dianggap memberikan celah yang lebih besar terjadinya nepotisme.
"Kelebihan dan kelemahan tiap-tiap varian sistem pemilihan umum dimaksud hampir selalu berkaitan erat dengan implikasi dan penerapannya dalam praktik penyelenggaraan pemilihan umum. Artinya, apapun bentuk sistem yang dipilih kelebihan dan kelemahan masing-masing akan selalu menyertainya," jelas Suhartoyo. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.