KENDATI mengambil peran sebagai sumber penerimaan utama pemerintah, nyatanya pajak tidak hanya berfungsi sebagai sumber keuangan negara (budgetair) tetapi juga memiliki fungsi lain sebagai pengatur (regularend).
Pajak dengan fungsi regularend hadir dengan cakupan peranan yang luas serta beriorientasi untuk mencapai tujuan tertentu di luar bidang keuangan. Contoh nyata fungsi regularend pajak terlihat dari dapat dimanfaatkannya pajak sebagai instrumen untuk menghadapi dan menangani dampak dari Covid-19. Anda juga dapat menyimak perspektif ‘Pajak Hadir Lawan Dampak Corona’.
Berbagai instrumen kebijakan pajak seperti insentif diluncurkan oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Instrumen ini digunakan untuk mencegah pengangguran, menjaga kestabilan investasi dan arus kas sektor usaha, mendorong konsumsi, serta meredam ancaman resesi. Anda dapat menyimak seri analisis dari DDTC Fiscal Research bertajuk ‘Respons Pajak Perangi Dampak Corona’.
Dengan kata lain, kebijakan pajak tidak hanya untuk penerimaan tetapi juga memiliki sisi ‘pengeluaran’ yang dapat direpresentasikan dengan istilah tax expenditure. Anda juga dapat menyimak definisinya dalam kamus ‘Apa itu Tax Expenditure’. Lantas, bagaimanakah cara mengukur tax expenditure?
Metode Pengukuran
TAX expenditure sebagai bagian dari sistem pajak tentu membutuhkan metode pengukuran yang akurat. Merujuk pada publikasi OECD bertajuk ‘Tax Expenditure in OECD Countries‘ yang dipublikasikan pada 2010, terdapat tiga metode yang dapat digunakan untuk mengukur tax expenditure.
Pertama, revenue forgone method (initial revenue loss). Metode ini mengukur besaran tax expenditure berdasarkan pada besaran nilai penerimaan pajak yang berkurang sebagai akibat dari adanya ketentuan mengenai tax expenditure.
Metode ini mengukur tax expenditure dengan asumsi bahwa perilaku wajib pajak dan penerimaan dari pajak lainnya tidak berubah. Metode ini merupakan metode yang paling mudah dan banyak digunakan karena tidak mempertimbangkan perubahan yang terjadi.
Kedua, final revenue loss method. Metode ini mengukur besaran tax expenditure berdasarkan pada penurunan atau peningkatan penerimaan pajak sebagai konsekuensi dari adanya atau penghapusan tax expenditure.
Metode ini mengukur tax expenditure dengan mempertimbangkan perubahan perilaku dan dampaknya terhadap penerimaan pajak lainnya sebagai konsekuensi adanya atau penghapusan tax expenditure.
Ketiga, outlay equivalence method. Ini merupakan metode yang mengukur tax expenditure berdasarkan ukuran nilai berapa banyak dana yang dibutuhkan bagi belanja langsung untuk mencapai hasil yang sama dengan tax expenditure. Ini apabila belanja langsung tersebut diperlakukan serupa dengan tax expenditure.
Persamaan dan Perbedaan
PERSAMAAN revenue forgone method dan final revenue loss method adalah kedua metode tersebut sama-sama mengestimasikan peningkatan penerimaan yang dapat diperoleh apabila tax expenditure tersebut dihilangkan.
Perbedaannya, final revenue loss method mempertimbangkan perubahan perilaku wajib pajak. Sementara revenue forgone method mengasumsikan bahwa tidak ada perbedaan perilaku sebagai dampak penerapan tax expenditure.
Hal tersebut menjadi kelemahan dari revenue forgone method. Pasalnya, pertimbangan perubahan perilaku wajib pajak merupakan hal yang penting. Namun, karena tidak mempertimbangkan perubahan perilaku, revenue forgone method menjadi metode yang paling mudah untuk mengestimasi tax expenditure.
Serupa dengan revenue forgone method, outlay equivalence method juga mengasumsikan bahwa tidak ada perubahan perilaku wajib pajak. Kendatii demikian, outlay equivalence method memiliki keuntungan yang mana perhitungan biaya tax expenditure akan lebih adil.
Hal ini lantaran biaya estimasi tax expenditure tersebut diperoleh dengan membandingkan biaya apabila program tersebut dibiayai menggunakan belanja langsung, meskipun tidak mengakomodasi kelebihan belanja langsung seperti pengendalian anggaran yang lebih besar (Hashimzade, et all:2014).
Contoh Pengukuran
PENGGUNAAN ketiga metode yang dijabarkan dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Negara X memberikan fasilitas tax holiday untuk mendorong investasi asing masuk ke dalam negara mereka. Fasilitas berupa pembebasan PPh Badan selama 20 tahun kepada investasi pada sektor pariwisata yang memberikan multiplier effect besar terhadap berkembangnya perekonomian kawasan X (kawasan khusus).
Diketahui bahwa tarif PPh Badan negara A sebesar 25% dan rata-rata laba perusahaan yang bergerak di perusahaan pariwisata sebesar US$5 juta/tahun. Sebanyak 10 perusahaan mendapatkan fasilitas tersebut.
Apabila menggunakan ketiga metode pengukuran tersebut maka secara ringkas dapat diukur dengan cara sebagai berikut:
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.