Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memberikan keterangan pers APBN Kita di Jakarta, Rabu (11/12/2024). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/tom.
JAKARTA, DDTCNews - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan meskipun tarif PPN naik, pemerintah masih tetap tidak memungut atau membebaskan pajak atas penyerahan atau impor sejumlah barang dan jasa.
Barang dan jasa yang masih mendapatkan fasilitas PPN itu seperti beras, daging, ikan, telur, sayur, susu segar, gula konsumsi, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum, jasa tenaga kerja, jasa keuangan, jasa asuransi, penjualan buku, vaksinasi, rumah sederhana, listrik, serta air minum.
“Itu semuanya tidak dipungut PPN. Jadi, PPN-nya adalah 0%,” ujar Sri Mulyani dalam Konferensi Pers APBN Kita Edisi Desember 2024, Rabu (11/12/2024).
Sri Mulyani mengatakan ketika tarif PPN naik dari 10% menjadi 11%, berbagai jenis barang dan jasa tersebut masih tidak dikenai PPN. Estimasi nilai potensi penerimaan PPN yang akhirnya tidak masuk ke kas negara (revenue forgone) pada tahun ini sekitar Rp231 triliun.
“Yang kita sebutkan sebagai fasilitas, untuk tahun ini diperkirakan mencapai Rp231 triliun PPN yang tidak di-collect dari barang dan jasa yang tadi PPN-nya di-nol-kan, meskipun undang-undang menyebutkan PPN 11%,” katanya.
Sri Mulyani mengatakan kondisi yang sama juga berlaku ketika tarif PPN naik menjadi 12%. Artinya, pemerintah tetap akan memberikan fasilitas PPN terhadap berbagai jenis barang dan jasa tersebut. Adapun nilai fasilitas PPN secara total pada tahun depan diproyeksi kembali meningkat.
“Jadi, kalau kita perkirakan tahun depan, pembebasan PPN itu akan mencapai Rp265,6 triliun. Nah, karena sekarang ada wacana untuk PPN kenaikan yang 12% hanya untuk barang mewah, kami sedang menghitung dan menyiapkan,” jelasnya.
Pada dasarnya, sambung Sri Mulyani, pemerintah akan konsisten untuk menerapkan asas keadilan. Pemberian fasilitas PPN terhadap barang kebutuhan pokok serta jasa yang esensial untuk masyarakat itu menjadi salah satu wujudnya.
“Karena ini menyangkut pelaksanaan undang-undang di satu sisi, tapi juga dari sisi asas keadilan, aspirasi masyarakat, tapi juga keadaan ekonomi dan kesehatan APBN, kami harus mempersiapkan secara teliti dan hati-hati,” imbuhnya. Simak ‘Soal PPN 12%, Begini Penjelasan Lengkap Sri Mulyani Hari Ini’.
Seperti diketahui, kebijakan pajak yang ditempuh pemerintah tidak jarang memunculkan potensi penerimaan yang hilang (revenue forgone). Dengan kata lain, ada kesengajaan untuk tidak memungut pajak sebagai penerimaan untuk tujuan lain yang dianggap lebih penting (prioritas).
Tujuan yang dimaksud seperti meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mengembangkan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), mendukung dunia bisnis, serta meningkatkan iklim investasi. Instrumen yang digunakan juga berasal dari berbagai jenis pajak.
Berbagai kebijakan yang berdampak memunculkan potensi penerimaan yang hilang itu biasanya dicatat sebagai belanja perpajakan (tax expenditure). Nilai yang disampaikan Sri Mulyani tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan proyeksi sebelumnya dalam Laporan Belanja Perpajakan 2022.
Dalam Laporan Belanja Perpajakan (Tax Expenditure Report) 2022 yang dirilis Kementerian Keuangan, estimasi serta proyeksi belanja perpajakan 2019-2025 paling besar memang berasal dari pos PPN dan PPnBM. Porsinya sekitar 56,5% hingga 62,2% dari total belanja perpajakan.
Dalam laporan itu, estimasi belanja perpajakan PPN dan PPnBM senilai Rp155,2 triliun (2019) dan Rp192,8 triliun (2022). Pada 2023-2025, nilainya diproyeksi mencapai Rp209,4 triliun, Rp228,1 triliun, dan Rp262,3 triliun.
Berdasarkan pada data yang diolah dari laporan tersebut, setidaknya ada 6 kelompok perlakuan khusus atau fasilitas PPN dan PPnBM. Adapun 5 kelompok tersebut terdiri atas sekitar 50 jenis perlakuan khusus atau fasilitas PPN dan PPnBM.
Jika ditinjau dari kelompoknya, belanja perpajakan ‘dibebaskan atau pembebasan’ tercatat paling besar. Pada 2022, nilainya mencapai Rp114,9 triliun atau 59,62% dari total belanja perpajakan jenis pajak PPN dan PPnBM. Nilainya pada 2023-2025 diproyeksi terus meningkat.
Belanja perpajakan ‘dibebaskan atau pembebasan’ itu terdiri atas 20 perlakuan khusus atau fasilitas. Cakupannya adalah fasilitas yang diberikan untuk jenis-jenis barang kena pajak (BKP) dan/atau jasa kena pajak (JKP) tertentu. Simak ‘Ini Potensi Penerimaan PPN yang Hilang untuk Keberpihakan Masyarakat’.
Adapun ulasan mengenai PPN ini juga ada dalam 4 buku DDTC. Pertama, Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional. Kedua, Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai. Ketiga, Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. Keempat, Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran.
Sebagai informasi kembali, hingga saat ini, DDTC sudah menerbitkan 31 buku. Selain wujud nyata dari komitmen sharing knowledge, hal tersebut juga bagian dari pelaksanaan beberapa misi DDTC, yakni berkontribusi dalam perumusan kebijakan pajak dan mengeliminasi informasi asimetris. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.