Ilustrasi.
BEBAN konsumen akhir yang dituju atas kebijakan PPN dapat dilihat secara komprehensif berdasarkan 3 variabel, yakni tarif, batasan pengusaha kecil yang dikecualikan dari kewajiban pemungutan dan administrasi PPN atau batasan pengusaha kena pajak (threshold PKP), serta fasilitas pembebasan.
Berdasarkan pada konferensi pers Senin (16/12/2024), pemerintah menegaskan akan menjalankan amanat Undang-Undang (UU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Pemerintah akan menaikkan tarif PPN dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% diestimasi memunculkan tambahan penerimaan pajak sekitar Rp75 triliun. Namun, threshold PKP dan berbagai fasilitas PPN lainnya masih akan memunculkan potensi penerimaan pajak yang hilang (revenue forgone) sekitar Rp265,6 triliun pada 2025.
Jika membandingkan antara nilai Rp75 triliun dan Rp265,6 triliun, sejatinya ada alternatif ruang optimalisasi penerimaan PPN selain kenaikan tarif. Alternatif kebijakan yang bisa ditempuh terkait dengan ketentuan threshold PKP dan berbagai fasilitas PPN lainnya.
Pada kenyataannya, untuk saat ini, pemerintah lebih memilih untuk tetap mempertahankan threshold PKP. Pemerintah juga akan memberikan pembebasan PPN. Namun, untuk ‘barang mewah’ yang selama ini mendapat pembebasan akan mulai dikenai PPN.
Masih dipertahankannya kebijakan tersebut, menurut pemerintah, dilandasi dengan asas keadilan dan gotong-royong. Threshold PKP serta beragam fasilitas PPN dianggap lebih berdampak langsung karena uang dibiarkan tetap beredar di tengah masyarakat.
Dalam keterangan tertulis pada Sabtu (21/12/2024), Ditjen Pajak (DJP) menegaskan bahwa hingga saat ini, pemerintah tidak berencana untuk menurunkan threshold PKP, yakni Rp4,8 miliar. Simak ‘Lengkap, 17 Poin Keterangan Tertulis DJP Hari Ini Soal PPN 12%’.
Padahal, sudah sejak lama, lembaga internasional seperti Wold Bank, Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), dan International Monetary Fund (IMF) merekomendasikan agar pemerintah Indonesia menurunkan threshold PKP. Tujuannya untuk memperluas basis pajak.
Saat ini, threshold PKP senilai Rp4,8 miliar di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi di dunia (Darussalam, 2024). Pada tahun 2024, rata-rata threshold PKP di 143 negara adalah sebesar Rp1,61 miliar (diolah dari data OECD, 2024).
Jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara (Asean) yang mengenakan PPN (value-added tax/VAT) atau goods and services tax (GST), threshold PKP Indonesia itu tertinggi kedua setelah Singapura. Simak ‘Batasan Pengusaha Pungut PPN (PKP) Indonesia Tertinggi ke-2 di Asean’.
World Bank (2024) bahkan menyebut threshold di Indonesia adalah sebesar 6 kali lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata di negara OECD pada 2022. Hal inilah yang membuat banyak pengusaha bukan PKP sehingga tidak memungut, menyetor, serta melaporkan PPN yang terutang.
Berdasarkan pada Laporan Belanja Perpajakan (Tax Expenditure Report) 2023, pengecualian untuk memungut PPN dan PPnBM bagi pengusaha kecil merupakan deviasi terhadap perlakuan pajak standar, yaitu semua pengusaha wajib memungut PPN dan PPnBM dengan batasan yang ditentukan.
Kebijakan tersebut bertujuan untuk mengembangkan UMKM pada berbagai sektor usaha. Adapun dasar hukum dari fasilitas ini adalah PMK 68/2010 s.t.d.t.d. PMK 197/2013. Namun, sejak akhir 2023, payung hukum yang berlaku adalah PMK 164/2023.
Adapun berdasarkan pada Laporan Belanja Perpajakan 2023, potensi penerimaan pajak yang hilang karena adanya threshold PKP pada 2025 diproyeksi mencapai Rp61,2 triliun. Nilai itu sekitar 23,0% dari total belanja perpajakan PPN dan PPnBM senilai 265,6 triliun.
Sesuai dengan ketentuan, threshold PKP senilai Rp4,8 miliar mulai berlaku sejak 2014. Sebelum tahun itu, threshold PKP hanya senilai Rp600 juta. Jika menggunakan basis revenue forgone senilai Rp61,2 triliun, secara sederhana, berikut proyeksi tambahan penerimaan pajak yang bisa didapat.
Simulasi sederhana tersebut bukanlah resmi dari pemerintah, melainkan hasil olahan penulis dengan skema proporsional menggunakan basis data proyeksi potensi penerimaan PPN yang hilang ketika threshold PKP senilai Rp4,8 miliar (baris pertama, sesuai dengan Laporan Belanja Perpajakan 2023).
Contoh, untuk proyeksi 2025. Dengan patokan threshold Rp4,8 miliar, proporsinya adalah 100% dengan revenue forgone senilai Rp61,2 triliun. Karena sudah masuk revenue forgone, potensi penerimaan PPN yang didapat dianggap Rp0 triliun.
Ketika threshold diturunkan menjadi Rp1,61 miliar (rata-rata 143 negara), proporsinya menjadi 34%. Proporsi itu dihitung dari Rp1,61 miliar : Rp4,8 miliar. Dengan demikian, potensi revenue forgone yang muncul sekitar Rp20,5 triliun (berasal dari 34% X Rp61,2 triliun).
Karena revenue forgone turun dari Rp61,2 triliun menjadi Rp20,5 triliun, nilai selesihnya menjadi potensi tambahan penerimaan PPN yang didapat. Adapun potensi tambahan penerimaan PPN yang didapat senilai Rp40,7 triliun (Rp61,2 triliun - Rp20,5 triliun). Skema simulasi penghitungan itu berlaku sama untuk patokan threshold PKP lainnya.
Berdasarkan pada data tersebut, terlihat adanya ketimpangan (gap) yang cukup besar dari sisi penerimaan ketika threshold PKP di Indonesia saat ini (Rp4,8 miliar) diturunkan menjadi sama dengan rata-rata 143 negara (Rp1,61 miliar).
Dari lingkup Asean misalnya, jika menggunakan threshold sama seperti Vietnam (Rp63 juta), akan ada tambahan penerimaan sekitar Rp49,1 triliun (2024), Rp53,2 triliun (2025), dan Rp57,7 triliun (2026). Dengan demikian, nilai potensi penerimaan yang hilang juga menyusut.
Jika threshold PKP diturunkan menjadi sama dengan yang berlaku di Filipina (negara Asean dengan tarif PPN 12%) senilai Rp83 juta, akan ada tambahan penerimaan sekitar Rp46,7 triliun (2024), Rp50,6 triliun (2025), dan Rp55 triliun (2026).
Data tersebut juga kembali menunjukkan untuk melihat beban yang diterima konsumen akhir atau masyarakat sebagai dampak kebijakan PPN tidak dapat hanya dilihat dari sisi tarif. Tingginya threshold PKP pada akhirnya juga akan membuat potensi penerimaan pajak yang tidak dipungut dari masyarakat juga bertambah ketika tarif PPN naik.
Threshold PKP yang cukup tinggi itu penting untuk dilihat sebagai keberpihakan kepada konsumen akhir. Contoh, ketika tarif PPN di Indonesia naik menjadi 12% mulai 1 Januari 2025, posisinya sama dengan Filipina. Artinya, Indonesia dan Filipina memiliki tarif PPN paling tinggi di Kawasan Asean.
Meskipun tarif PPN Indonesia nantinya sama dengan Filipina, yakni 12%, ternyata threshold PKP di Indonesia jauh lebih besar (Rp4,8 miliar) dibandingkan dengan threshold di Filipina (sekitar Rp833,43 juta).
Dengan demikian, meskipun memiliki tarif yang sama, basis pajak kedua negara ini berbeda karena tingginya threshold PKP membuat banyak pengusaha tidak memungut PPN. Hal ini tergambar dari data sebelumnya ketika threshold PKP di Indonesia juga disamakan dengan ketentuan di Filipina.
Darussalam (2024) berpandangan pemerintah terlihat berupaya mengembalikan PPN sesuai konsep awal dan international best practice. Namun, pemerintah tetap mengakomodasi kondisi perekonomian dan kebutuhan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari dipertahankannya threshold PKP dan berbagai fasilitas PPN ketika tarif PPN naik. Simak ‘Memandang Secara Jernih Rencana Kenaikan Tarif PPN 12%’.
Pemerintah berupaya menyeimbangkan antara perlunya menjaga APBN tetap sehat dan menjaga kesejahteraan masyarakat. Dalam bahasa yang disampaikan Menkeu Sri Mulyani, ada asas keadilan dan gotong-royong.
Adapun ulasan mengenai PPN ini juga ada dalam 4 buku DDTC. Pertama, Konsep Dasar Pajak: Berdasarkan Perspektif Internasional. Kedua, Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai. Ketiga, Desain Sistem Perpajakan Indonesia: Tinjauan atas Konsep Dasar dan Pengalaman Internasional. Keempat, Gagasan Perpajakan untuk Prabowo-Gibran.
Sebagai informasi kembali, hingga saat ini, DDTC sudah menerbitkan 32 buku. Selain wujud nyata dari komitmen sharing knowledge, hal tersebut juga bagian dari pelaksanaan beberapa misi DDTC, yakni berkontribusi dalam perumusan kebijakan pajak dan mengeliminasi informasi asimetris. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.