KAMUS PAJAK

Mengenal Ragam Istilah Anti-Penghindaran Pajak

Nora Galuh Candra Asmarani | Kamis, 29 Desember 2022 | 13:30 WIB
Mengenal Ragam Istilah Anti-Penghindaran Pajak

MENINGKATNYA pengaruh globalisasi pada dunia usaha turut memacu perkembangan metode transaksi bisnis antar-yurisdiksi. Perubahan metode transaksi bisnis tersebut juga dipacu oleh perkembangan teknologi yang makin kompleks di era digital saat ini.

Namun, pesatnya perkembangan teknologi dan transaksi antar-yurisdiksi ikut memunculkan cara-cara penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional. Sebab, transaksi lintas batas negara atau yurisdiksi memberikan konsekuensi adanya interaksi sistem pajak antar-negara.

Interaksi tersebut berpotensi menimbulkan celah penghindaran pajak dengan memanfaatkan kelemahan (loophole) ketentuan pajak suatu negara. Mengacu pada kasus yang terjadi di banyak negara, skema penghindaran pajak (tax avoidance) dapat dibedakan menjadi penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance) dan penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax avoidance).

Baca Juga:
Apa Itu Barang Tidak Kena PPN serta PPN Tak Dipungut dan Dibebaskan?

Kendati demikian, pandangan suatu negara tentang tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai acceptable tax avoidance dan unacceptable tax avoidance bisa saling berbeda. Dengan demikian, bisa saja suatu skema penghindaran pajak tertentu diperkenankan di suatu negara, tetapi di negara lain tidak diperkenankan. Simak 'Ini Beda Tax Planning, Tax Avoidance, dan Tax Evasion'.

Dalam konteks pajak internasional, skema penghindaran pajak yang muncul sangatlah bervariasi. Skema tersebut di antaranya seperti manipulasi transfer pricing, treaty shopping, penghindaran status bentuk usaha tetap (BUT), thin capitalization, dan controlled foreign company (CFC).

Guna mencegah meluasnya praktik tersebut, berbagai negara berupaya menciptakan ketentuan anti-penghindaran pajak. Ketentuan anti-penghindaran pajak tersebut ada yang bersifat khusus atau disebut specific anti avoidance rule (SAAR) dan bersifat umum atau disebut general anti avoidance rule (GAAR).

Baca Juga:
Tahapan Pendahuluan untuk Transaksi Jasa dalam Penerapan PKKU

Pembahasan SAAR dan GAAR tak luput dari beragam istilah instrumen anti-penghindaran pajak yang tercakup di dalamnya. Istilah-istilah tersebut menarik untuk diulas mengingat pemerintah Indonesia baru saja memperkuat instrumen pencegahan penghindaran pajaknya melalui Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022. Di dalam beleid tersebut, diatur sejumlah instrumen antipenghindaran pajak, terutama yang berkaitan dengan SAAR dan GAAR.

Lantas, apa saja contoh istilah instrumen antipenghindaran pajak yang tercakup dalam SAAR dan GAAR? Bagaimana pengertian dari setiap istilah tersebut?

Specific Anti Avoidance Rule (SAAR)

Baca Juga:
Metode Penentuan Harga Transfer dan Karakteristik Transaksinya

Secara definisi, SAAR merupakan ketentuan antipenghindaran pajak yang bersifat khusus. SAAR juga dapat berarti ketentuan anti-penghindaran pajak yang ditujukan untuk wajib pajak atau transaksi tertentu guna memerangi kondisi yang dianggap sebagai penghindaran pajak (Glabush, 2015).

Intinya, SAAR adalah ketentuan anti-penghindaran pajak yang bersifat spesifik untuk mencegah suatu skema penghindaran pajak tertentu. Instrumen anti-penghindaran pajak yang termasuk dalam SAAR seperti CFC rules, arm’s length rule, advance pricing agreement (APA), dan thin capitalization rules, diatur dalam undang-undang domestik.

Controlled Foreign Company (CFC) Rules

Baca Juga:
Airlangga Tegaskan Batas Omzet PPh Final UMKM Tetap Rp4,8 Miliar

CFC merupakan istilah yang merujuk pada perusahaan anak yang didirikan di negara lain (foreign subsidiary) yang dapat dikendalikan oleh pemegang sahamnya. CFC juga dapat diartikan sebagai entitas yang dikendalikan sebagian atau keseluruhan oleh individu ataupun entitas hukum melalui kepemilikan saham.

Dalam konteks perpajakan, permasalahan muncul ketika mekanisme ini dipergunakan untuk mengalihkan penghasilan dan/atau harta kekayan ke negara yang memiliki tarif pajak lebih rendah sehingga penerimaan pajak suatu negara berkurang drastis (Arnold, 2019).

Oleh karena itu, banyak negara mengambil langkah untuk memajaki penghasilan CFC melalui CFC rules. CFC rules merupakan ketentuan untuk membatasi penangguhan pengenaan pajak (anti-deferral) atas penghasilan CFC, sebelum CFC tersebut mendistribusikan penghasilannya ke pengendalinya, baik perusahaan induk ataupun individu.

Baca Juga:
Fokusnya ke Restitusi, Pemeriksaan Tak Optimal Lacak Pengelakan Pajak

CFC rules pada umumnya akan memajaki penghasilan dari CFC tersebut pada tingkat pemegang saham (pengendali), terlepas dari apakah pemegang saham menerima penghasilan tersebut atau tidak (Harris, 2012). Dengan demikian, penundaan pajak (tax deferral) atas penghasilan CFC dapat dibatasi.

Arm’s Length Principle (Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha)

Harga Transfer (transfer pricing) dalam transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa dapat digunakan untuk melaporkan penghasilan kurang dari semestinya atau pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya sehingga wajib memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU).

Baca Juga:
Apa Itu Surat Penetapan Kembali Perhitungan Bea Keluar?

Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm's length principle/ALP) adalah prinsip yang berlaku di dalam praktik bisnis yang sehat yang dilakukan sebagaimana transaksi independen (Pasal 1 angka 10 PP 55/2022 dan Pasal 1 angka 18 PMK 22/2020). ALP berperan sebagai pencegah praktik manipulasi transfer pricing.

Advance Pricing Agreement (APA)

OECD Guidelines (1995) mendefinisikan APA sebagai suatu skema yang telah disusun sebelumnya terhadap transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan berdasarkan kriteria yang tepat (seperti metode, perbandingan, dan penyesuaian, serta asumsi-asumsi terhadap kondisi yang akan datang) untuk menentukan harga transfer antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut untuk periode waktu tertentu.

Baca Juga:
Perlukah Aturan Transfer Pricing di Indonesia Mengadopsi Safe Harbour?

Dalam regulasi Indonesia, APA dikenal sebagai kesepakatan harga transfer. Ketentuan mengenai kesepakatan harga transfer di antaranya di atur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 22/PMK.03/2020. Pasal 1 angka 5 beleid tersebut mengartikan kesepakatan harga transfer atau APA sebagai:

“Kesepakatan Harga Transfer (Advance Pricing Agreement) yang selanjutnya disebut APA adalah perjanjian tertulis antara:

a. Direktur Jenderal Pajak dan Wajib Pajak; atau
b. Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas pajak pemerintah Mitra P3B yang melibatkan Wajib Pajak,

Baca Juga:
Pemerintah Ingin Turunkan Batas Omzet PPh Final UMKM ke Rp3,6 Miliar

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3a) Undang-Undang mengenai Pajak Penghasilan untuk menyepakati kriteria-kriteria dalam penentuan harga transfer dan/atau menentukan harga wajar atau laba wajar di muka.”

Thin Capitalization Rules

Thin capitalization merujuk pada situasi di mana sebuah perusahaan memiliki jumlah utang yang jauh lebih besar jika dibandingkan dengan jumlah modal atau sering disebut ‘highly leveraged’ (OECD, 2012). Thin capitalization rules (TCR) merupakan ketentuan yang dibuat untuk mencegah hal tersebut terjadi.

Baca Juga:
Survei World Bank Catat 1 dari 4 Perusahaan Indonesia Mengelak Pajak

TCR digunakan untuk mendeteksi adanya modal terselubung melalui pinjaman berlebihan (Roy Rohatgi, 2022). TCR umumnya diejawantahkan dalam wujud rasio utang terhadap modal (Debt to Equity Ratio/DER). Di luar pendekatan DER, ada juga pendekatan yang melihat pada rasio interest expense atau biaya bunga pinjaman yang dapat dibebankan untuk keperluan penghitungan pajak (earning stripping rules/earning threshold).

Perlu dicatat, penggunaan SAAR hanya efektif dalam mencegah skema penghindaran pajak tertentu. Padahal, skema penghindaran pajak semakin kompleks dan tidak mampu diikuti oleh kecepatan pemerintah dalam mengubah ketentuan. Pada saat itulah, penggunaan GAAR menjadi krusial.

General Anti Avoidance Rule (GAAR)

Baca Juga:
Sisa 3 Hari! Jangan Lewatkan Promo Spesial Akhir Tahun DDTC

Secara definisi, GAAR berarti ketentuan antipenghindaran pajak yang bersifat umum yang tidak dibatasi subjek atau objek tertentu. GAAR juga dapat berarti ketentuan antipenghindaran pajak yang memberikan kriteria penerapan umum, tidak ditujukan kepada wajib pajak atau transaksi tertentu, untuk memerangi kondisi yang dianggap sebagai penghindaran pajak (Glabush, 2015).

GAAR akan menyasar suatu skema yang melibatkan suatu transaksi yang secara umum tidak akan dilakukan, selain hanya untuk alasan manfaat pajak bagi wajib pajak. Dalam hal ini, GAAR berdiri di atas asumsi bahwa penghindaran pajak dilakukan pada transaksi atau suatu skema yang tidak memiliki substansi bisnis.

Intinya, GAAR merupakan ketentuan antipenghindaran pajak yang bersifat umum, untuk mencegah transaksi yang semata-mata bertujuan menghindari pajak dan tidak mempunyai motif bisnis. Penggunaan GAAR ini bertujuan untuk mengantisipasi praktik penghindaran pajak yang belum diatur dalam ketentuan yang bersifat khusus.

Baca Juga:
Update 2024, Apa Itu Pengembalian PPN untuk Turis Asing?

Pada umumnya, GAAR mengandung elemen penting seperti business purpose test. Business purpose test adalah kriteria yang kerap digunakan untuk menentukan apakah sebuah transaksi harus dicegah dengan tindakan anti-avoidance atau tidak (Glabush, 2015).

GAAR berfokus pada substansi transaksi yang relevan dengan prinsip pengakuan substansi ekonomi di atas bentuk formalnya (substance over form). Substance over form lebih mengedepankan substansi ekonomi dibandingkan dengan bentuk hukumnya (Glabush, 2015).

Adapun beragam instrumen SAAR yang dimiliki Indonesia tercantum dalam Pasal 32 ayat (2) PP 55/2022. Sementara itu, Indonesia menganut prinsip substance over form dalam hal terdapat praktik penghindaran pajak yang tidak dapat dicegah menggunakan mekanisme yang diatur dalam Pasal 32 ayat (2) PP 55/2022. (sap)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 24 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Tahapan Pendahuluan untuk Transaksi Jasa dalam Penerapan PKKU

Minggu, 22 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Metode Penentuan Harga Transfer dan Karakteristik Transaksinya

Jumat, 20 Desember 2024 | 10:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Airlangga Tegaskan Batas Omzet PPh Final UMKM Tetap Rp4,8 Miliar

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:30 WIB THAILAND

Negara Tetangga Ini Bakal Bebaskan Hutan Mangrove dari Pajak

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:00 WIB LAYANAN PAJAK

Kantor Pajak Telepon 141.370 WP Sepanjang 2023, Kamu Termasuk?

Rabu, 25 Desember 2024 | 08:30 WIB KPP PRATAMA BADUNG SELATAN

Kantor Pajak Minta WP Tenang Kalau Didatangi Petugas, Ini Alasannya