Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) berpandangan adanya sinyal positif dalam negosiasi antaryurisdiksi untuk mencapai konsensus atas Pillar 1: Unified Approach dan Pillar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) di bawah koordinasi OECD.
Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) BKF Pande Putu Oka Kusumawardani mengatakan pemerintah Amerika Serikat (AS) baru-baru ini memberikan posisinya atas Pillar 1 mengenai pemajakan ekonomi digital dan Pillar 2 mengenai penetapan tarif pajak minimum global.
"Hal ini tentunya positif dalam mendukung pencapaian konsensus global atas proposal Pillar 1 dan Pillar 2," ujar Oka, Rabu (14/4/2021).
Bila dibandingkan dengan tahun lalu ketika masih dipimpin Donald Trump, AS belum sepenuhnya memberikan dukungan terhadap Pillar 1 dan Pillar 2. AS bahkan sempat mundur dari pembahasan pada tahun lalu karena memilih untuk fokus dalam penyelenggaraan pemilihan umum dan penanganan pandemi Covid-19.
Seperti diketahui, pemerintahan AS di bawah Presiden Joe Biden cenderung lebih akomodatif. Safe harbour approach yang sebelumnya diusulkan AS atas Pillar 1 telah dicabut. Meski demikian, AS masih memiliki sikap dan pandangan tersendiri atas kedua proposal, terutama Pillar 1.
Dalam dokumen Steering Group of the Inclusive Framework Meeting: Presentation by the United States tertanggal 8 April 2021, AS menginginkan hanya kurang dari 100 perusahaan yang memenuhi revenue threshold dan profit margin dan terdampak proposal Pillar 1.
Jumlah perusahaan perlu diminimalisasi agar skema pajak yang tertuang pada Pillar 1 secara administratif mudah diimplementasikan. AS berpandangan proposal Pillar 1 seharusnya hanya mencakup korporasi internasional dengan pendapatan dan laba besar tanpa memandang sektor usahanya.
Mengenai proposal Pillar 2, AS menyatakan dukungan penuh atas proposal tersebut demi mencegah terjadinya race to the bottom akibat perang tarif pajak korporasi. Proposal ini diharapkan dapat memperkuat penerapan tarif pajak korporasi minimum sebesar 21% yang rencananya akan dikenakan AS atas perusahaan multinasional yang bermarkas di Negeri Paman Sam.
Khusus untuk Indonesia, Oka mengatakan pemerintah berharap konsensus dapat memberikan keadilan bagi bisnis konvensional dan digital, pelaku usaha dalam negeri dan luar negeri, serta negara pasar dan negara domisili.
Selanjutnya, Indonesia berharap skema pada proposal perlu lebih sederhana agar mudah diimplementasikan perusahaan multinasional yang terdampak serta otoritas pajak. Indonesia juga berharap konsensus memberikan kepastian hukum sehingga dapat menghindari timbulnya sengketa. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.