LINGKUP subjektif dari sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di dunia sangat bergantung pada konsep Pengusaha Kena Pajak (PKP). Konsep PKP merupakan kriteria yang sangat fundamental dalam PPN. Oleh karena konsep ini bersifat fundamental, konsep PKP harus jelas dan tidak memiliki makna yang ambigu (Aleksandra Bal, 2013).
Bahkan Doesum, Kesteren, dan Norden (2016) menyebutkan bahwa konsep PKP harus didefinisikan seluas-luasnya sehingga PPN mempunyai ruang lingkup yang cukup luas untuk mencakup semua tahap produksi, distribusi, dan penyediaan jasa.
Dalam literatur berbahasa Inggris, istilah yang digunakan untuk menjelaskan PKP adalah “taxable person”. Istilah ini digunakan di beberapa negara, termasuk negara-negara Uni Eropa.
Istilah PKP (taxable person) dalam PPN digunakan untuk dapat dibedakan dengan person dalam arti wajib pajak (taxpayer). Karena, untuk tujuan PPN, kedua istilah tersebut mempunyai arti dan fungsi yang berbeda. Atau dengan kata lain, istilah PKP dengan wajib pajak merupakan dua terminologi yang berbeda sehingga penggunaannya tidak dapat dipertukarkan (David William, 1996).
Dalam Value Added Tax (VAT) Directive, definisi PKP dijelaskan dalam Pasal 9 ayat (1) VAT Directive sebagai berikut (Alan Schenk dan Oliver Oldman, 2007):
“any person who, independently carries out in any place any economic activity specified…., whatever the purpose or result of the activity.”
Berdasarkan Pasal 9 ayat (1) VAT Directive, yang dimaksud dengan PKP adalah setiap person yang menjalankan kegiatan ekonomi secara independen di mana pun, tanpa memperhatikan tujuan dan hasil dari kegiatan yang dilakukan tersebut (Ben Terra).
VAT Directive juga menetapkan pengecualian dari PKP. Misalnya, otoritas pemerintahan dan badan yang diatur oleh hukum publik bukan merupakan PKP apabila kegiatan dari otoritas atau badan tersebut sehubungan dengan kegiatan publik.
Pertanyaanya, bagaimana dengan person lainnya, selain pemerintah, yang melakukan kegiatan publik? Apakah person tersebut merupakan PKP?
Terkait dengan isu tersebut, dalam kasus yang terjadi di Belanda, ECJ memutuskan bahwa jasa yang diberikan oleh notaris dan juru sita yang berstatus sebagai petugas independen (bukan pegawai negeri) merupakan kegiatan ekonomi. Dengan kata lain, notaris dan juru sita tersebut dapat digolongkan sebagai PKP karena bertindak secara independen tanpa adanya ikatan kerja (Alan Schenk dan Oliver Oldman, 2007).
Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa dalam VAT Directive, PKP memiliki arti yang sangat luas, yaitu PKP tidak hanya terbatas pada person yang didirikan atau bertempat tinggal di negara-negara Uni Eropa atau person yang menjalankan kegiatan ekonomi dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Pemberian interpretasi yang luas dari konsep PKP dan kegiatan ekonomi ini sesuai dengan tujuan dari PPN sebagai pajak atas konsumsi yang bersifat umum (Aleksandra Bal, 2013 ).
Beberapa negara memiliki pengertian tersendiri mengenai PKP. Misalnya, di United Kingdom (UK). Di UK, PKP didefinisikan sebagai person yang telah terdaftar atau yang wajib untuk mendaftarkan diri (registered person).
Artinya, konsep PKP dalam ketentuan PPN di UK tidak dapat lepas dari penentuan apakah person tersebut telah atau wajib terdaftar. Hal yang sama juga berlaku di Afrika Selatan dan Australia (Alan Schenk dan Oliver Oldman, 2007).
Selain itu, banyak negara mengatur bahwa agar suatu person dapat digolongkan sebagai PKP, person tersebut harus melakukan penyerahan yang dikenai PPN sampai dengan batasan jumlah tertentu, yang penyerahan tersebut berhubungan dengan kegiatan ekonomi atau kegiatan usaha yang dijalankannya.
Batasan tersebut dapat berbeda-beda di setiap negara. Misalnya, terdapat negara yang menggunakan jumlah omzet atau keuntungan sebagai batasan. Adanya ketentuan ini menyebabkan tidak semua person yang melakukan kegiatan penyerahan atau penjualan yang dikenai PPN dapat diperlakukan sebagai PKP.
Lebih lanjut, William berpendapat bahwa dalam mendefinisikan PKP, ketentuan perundang-undangan PPN suatu negara harus mencakup semua person yang dibentuk berdasarkan hukum dari negara tersebut dan person tersebut harus menjalankan segala jenis kegiatan ekonomi.
Person tersebut juga mencakup perusahaan asing. Misalnya di Australia, perusahaan asing yang melakukan penyerahan di atau ke dalam Australia diharuskan mendaftarkan diri sebagai PKP untuk tujuan PPN di Australia sepanjang perusahaan tersebut telah melewati ambang batas pengusaha kecil di negara tersebut (Christine Peacock, 2016).
Oleh karenanya, teks dari undang-undang yang menjelaskan definisi PKP harus disusun sedemikian rupa. Dengan menyusun pengertian PKP secara komprehensif, isu-isu terkait PKP diharapkan dapat diatasi. Misalnya, penentuan apakah suatu bentuk kemitraan dan asosiasi dapat digolongkan sebagai PKP (David William, 1996).
Dalam ketentuan PPN di beberapa negara, kemitraan dan asosiasi dianggap sebagai PKP sepanjang mereka menjalankan kegiatan ekonomi. Pendapat ini sebagaimana pernyataan Calmac (2012) yang mendefinisikan PKP sebagai berikut:
“A taxable person is an individual, partnership, company or such like that provides taxable goods and services within his business.”
Kemitraan dianggap sebagai bentuk yang terpisah dari mitranya. Konsekuensinya, semua penyerahan dan perolehan barang dan/atau jasa dianggap dilakukan oleh kemitraan. Meskipun secara hukum, yang melakukan penyerahan adalah mitranya.
Beberapa negara juga memperbolehkan atau mewajibkan setiap cabang dari suatu perusahaan dianggap sebagai PKP yang terpisah. Misalnya, Australia, Kanada, Selandia Baru, Afrika Selatan, dan Swiss. Akibatnya, penyerahan yang terjadi antar cabang merupakan penyerahan yang terutang PPN.
Sebaliknya, ketentuan PPN yang berlaku di negara Uni Eropa dan Belanda tidak memperbolehkan cabang mendaftarkan diri sebagai PKP yang terpisah dari kantor pusat Rahiela Abdoelkariem dan Frank Prinsen, 2015). Alasannya, kantor pusat dan cabang merupakan satu kesatuan sehingga tidak dapat dipisahkan.
Selain itu, terdapat pula ketentuan yang memperbolehkan grup perusahaan (perusahaan induk dan perusahaan anak) untuk didaftarkan dan dikukuhkan sebagai satu PKP sehingga penyerahan yang terjadi di dalam grup perusahaan tersebut tidak dianggap sebagai penyerahan yang terutang PPN (David William, 1996).
untuk memperdalam konsep dasar Pengusaha Kena Pajak, dalam edisi berikutnya akan dijelaskan Kriteria yang harus dipenuhi untuk menjadi Pengusaha Kena Pajak secara Konseptual.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.