Menkeu Sri Mulyani Indrawati bersama jajaran Kemenkeu melakukan inspeksi ke Pusat Logistik Berikat (PLB) PT Dunia Express di Sunter, Jakarta Utara pada Jumat (4/10/2019). (foto: Kemenkeu)
JAKARTA, DDTCNews – Menyusul temuan pelanggaran sejumlah importir tekstil dan produk tekstil (TPT), Kemenkeu akan merevisi ketentuan pusat logistik berikat (PLB) serta mengenakan bea masuk tambahan. Langkah otoritas menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Selasa (15/10/2019).
Pemerintah akan merevisi Peraturan Dirjen Bea dan Cukai yang berhubungan dengan PLB. Dengan adanya revisi tersebut, pemerintah tidak lagi membedakan perlakuan impor baik melalui PLB maupun pelabuhan.
Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi menargetkan revisi Perdirjen tersebut tuntas pekan ini. Ada 6 substansi perubahan beleid tersebut. Pertama, pemberlakuan pemeriksaan fisik dan dokumen atas importasi melalui PLB berdasarkan manajemen risiko.
Kedua, penerapan risk engine pemeriksaan fisik. Ketiga, persyaratan profil risiko tertentu. Keempat, kewajiban cek eksistensi. Kelima, pemberian akses IT inventory dan CCTV kepada Ditjen Pajak (DJP). Keenam, penyampaian hasil audit kepabeanan kepada DJP.
“Jadi, nanti akan terdata dengan lengkap barang apa saja yang masuk dan keluar. Cocok atau tidak antara barang yang keluar dari PLB dan yang masuk sebelumnya,” tutur Heru.
Selain merevisi ketentuan PLB, Kemenkeu mengusulkan revisi Permendag No. 64/2017 dan Permendag No. 87/2015 tentang Ketentuan Impor Produk Tertentu. Kemenkeu juga akan mengenakan bea masuk tambahan (safeguard) atas 121 Harmonized System (HS) Code TPT untuk melindungi pasar dari banjir impor.
Selain itu, beberapa media juga menyoroti perkembangan dalam satu dasawarsa terakhir terkait banyaknya negara yang mulai menggunakan instrumen pajak untuk menarik sumber daya manusia (SDM) unggul.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Suahasil Nazara mengatakan bea masuk tambahan (safeguard) akan dikenakan atas TPT hulu, antara, hingga hilir. Namun, pengenaannya masih akan dibicarakan dengan Kementerian perdagangan agar sinkron dan tidak merugikan subsektor TPT.
“Kebijakan safeguard itu mungkin saja akan ada yang protes. Harus kita pilih mana yang akan kita lindungi dalam jangka pendek. Itu masih rapat di Kementerian Perdagangan,” tuturnya.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan mulai tahun depan Indonesia akan menikmati bonus demografi. Tanpa lapangan kerja yang cukup dan ruang ekspansi layak, bonus demografi justru berisiko mengerek angka pengangguran dan menekan upah. Selain itu, ada risiko peningkatan pengangguran terdidik.
Hal tersebut bisa mendorong emigrasi SDM unggul Indonesia ke luar negeri. Apalagi, kompetisi perebutan SDM unggul makin intens. Setidaknya ada empat aspek terkait pajak yang perlu dipertimbangkan Indonesia untuk merespons kondisi itu.
Pertama, menggunakan instrumen pajak untuk memperkuat keterkaitan antara pendidikan tinggi dan kebutuhan industri. Kedua, mengesampingkan ide rezim pajak ekspatriat. Dalam derajat tertentu, rezim ini bisa dijustifikasi tapi seharusnya tidak berlaku umum.
Ketiga, mendesain insentif bagi SDM unggul Indonesia yang siap pulang kampung. Keempat, mengangkat isu brain drain dan mobilitas individu dalam agenda pembangunan global.
Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan total dana repatriasi dalam kebijakan pengampunan pajak atau amnesti pajak senilai Rp146 triliun. Dari jumlah dana tersebut, sebanyak Rp130 triliun masuk melalui gateway bank persepsi yang ditunjuk pemerintah. Sisanya, yaitu Rp16 triliun masuk dalam instrumen surat berharga negara (SBN).
“Berdasarkan laporan gateway, sampai dengan 31 Agustus 2019 belum ada pergerakan. Dana yang ada di gateway masih Rp130 triliun,” ujarnya. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.