Buku berjudul Controlled Foreign Company Legislation yang memuat ulasan dari profesional DDTC terkait dengan peraturan CFC di Indonesia.
JAKARTA, DDTCNews – Pengaturan controlled foreign company (CFC rules) masih menjadi instrumen pencegahan penghindaran pajak yang dimuat dalam Pasal 18 UU PPh s.t.d.t.d UU HPP.
Apa itu CFC rules? Untuk memahaminya, DDTCNews pernah menerbitkan kelas pajak pada 2017 berjudul Ini Contoh Penghematan Pajak Melalui Skema CFC. Mari kita melihat lagi gambaran skema CFC yang disajikan dalam kelas tersebut.
Dengan prinsip worldwide income, subjek pajak dalam negeri mendapat pengenaan pajak atas penghasilan dari dalam dan luar negeri. Sementara subjek pajak luar negeri hanya akan dikenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negara pemberi penghasilan.
Pada kelas tersebut diberikan contoh terdapat suatu perusahaan (misal, perusahaan D) yang merupakan subjek pajak dalam negeri negara D mendirikan perusahaan anak (misal, perusahaan S) di negara S.
Penghasilan dari perusahaan S akan dikenakan pajak di negara D pada saat perusahaan S mendistribusikan penghasilannya (dividen) kepada perusahaan D sebagai pemegang sahamnya. Ketentuan ini berlaku karena perusahaan D dan perusahaan S merupakan 2 entitas yang berbeda.
Perusahaan anak yang didirikan di negara lainnya (foreign subsidiary) yang dapat dikendalikan oleh pemegang sahamnya, dalam literatur perpajakan dinamakan sebagai controlled foreign corporation atau controlled foreign corporation (CFC).
Dalam situasi tersebut, Perusahaan D dapat berkeinginan menunda pembagian penghasilan (berupa dividen) atau tetap menahan penghasilan tersebut di perusahaan anaknya (perusahaan S). Dengan demikian, penghasilan berupa dividen tersebut tidak dapat dikenakan pajak di negara D.
Kondisi tersebut tentu akan sangat lebih menguntungkan lagi jika perusahaan anak (perusahaan S) tersebut didirikan di negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven. Hal ini karenakan penghasilan itu akan dikenakan tarif lebih rendah, bahkan bisa tidak dikenakan pajak sama sekali.
Risiko penghindaran pajak muncul dalam kasus tersebut. CFC rules menjadi aturan yang digunakan untuk mencegah praktik penghindaran pajak melalui pergeseran laba (profit shifting) ke negara lain dengan tarif pajak lebih rendah.
Penguatan CFC rules juga menjadi bagian dari rencana aksi ke-3 proyek BEPS. Proyek itu merupakan agenda untuk memerangi penggerusan basis pajak dan pengalihan laba (base erosion and profit shifting/BEPS). Simak ‘Instrumen Antipenghindaran Pajak Menguat Sejalan dengan Proyek BEPS’.
UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) memang tidak secara khusus mengubah ketentuan CFC rules yang diatur dalam Pasal 18 ayat (2) UU PPh. Namun, penataan ulang ketentuan antipenghindaran pajak secara keseluruhan membuat perkembangan CFC rules layak dicermati.
Dalam struktur perundang-undangan, CFC rules mulai muncul dalam UU 10/1994 yang menjadi perubahan kedua dari UU 7/1993 tentang PPh. Dalam perkembangannya, termasuk perubahan dengan UU HPP, pengaturan terkait dengan CFC rules masih dimuat dalam Pasal 18 ayat (2) UU PPh.
“Menteri Keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri selain badan usaha yang menjual sahamnya di bursa efek, dengan ketentuan sebagai berikut:
Aturan turunan atau teknis terkait dengan CFC rules juga mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Sejak 1994, ketentuan teknis diatur pada tingkat menteri keuangan. Dimulai dengan penerbitan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.650/KMK.04/1994.
Pada 2008, pascaterbitnya UU 36/2008–perubahan keempat UU 7/1983–, otoritas fiskal menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.256/PMK.03/2008. Berlakunya PMK 256/2008 ini sekaligus mencabut KMK 650/1994.
Setelah itu, pada 2017, menteri keuangan menerbitkan PMK No. 107/PMK.03/2017 yang sekaligus mencabut PMK 256/2008. PMK 107/2017 tersebut masih berlaku saat ini dengan perubahan sekali melalui PMK 93/PMK.03/2019.
Kini, ketentuan teknis CFC rules mulai diatur pada peraturan pemerintah (PP). Sesuai dengan Bab VII PP 55/2022, CFC rules menjadi salah satu dari 8 instrumen bersifat khusus atau specific anti-avoidance rule (SAAR). Simak ‘Indonesia Kini Punya Instrumen Khusus dan Umum Antipenghindaran Pajak’.
Perjalanan ketentuan mengenai CFC rules selalu diikuti oleh para profesional DDTC. Berbagai perspektif juga sering disampaikan melalui diskusi publik dan artikel. Profesional DDTC juga pernah menjadi pembicara dengan materi tentang CFC rules dalam konferensi pajak internasional.
Profesional DDTC yang dimaksud adalah Yusuf Wangko Ngantung dan R. Herjuno Wahyu Aji. Mereka terpilih sebagai national reporter bagi Indonesia dalam Rust Conference yang diadakan Institute for Austrian and International Tax Law dan Vienna University of Economics and Business.
Dalam konferensi bertema Controlled Foreign Company Legislation tersebut, DDTC mengirim Yusuf Wangko Ngantung untuk hadir di Austria sekaligus menjadi pembicara. Bahasan dalam konferensi tersebut juga dibukukan dan diterbitkan oleh International Bureau of Fiscal Documentation (IBFD).
Berjudul Controlled Foreign Company Legislation, buku tersebut merupakan buku ke-17 dari European dan International Tax Law and Policy Series. Buku ini mengulas ketentuan CFC pada 41 negara, termasuk Indonesia. Simak ‘Profesional DDTC Berkontribusi Lagi dalam Buku Terbitan Internasional’.
Yusuf dan Herjuno memaparkan 8 topik utama. Pertama, karakteristik peraturan CFC di Indonesia. Kedua, implementasi artikel 7 dan 8 Anti-Tax Avoidance Directive (ATAD). Ketiga, special CFC rules. Keempat, peraturan CFC dan ketentuan anti penyalahgunaan lainnya.
Kelima, peraturan CFC dan perjanjian penghindaran pajak berganda (tax treaty). Keenam, peraturan CFC dan hukum konstitusional. Ketujuh, perbaikan ketentuan yang ada saat ini. Kedelapan, outlook atau masa depan peraturan CFC.
Yusuf mengatakan definisi CFC dapat ditentukan dari pengendalian secara hukum melalui ambang batas kepemilikan saham (share ownership) maupun hak suara (voting rights). Meskipun demikian, beberapa negara menerapkan kriteria yang lebih luas.
Mayoritas negara juga melaporkan penentuan pengendalian tersebut disertai dengan ketentuan anti-fragmentation. Ketentuan ini mencakup kepemilikan saham yang dimiliki secara bersama-sama oleh sekelompok wajib pajak dalam rangka menghindari ambang batas kepemilikan saham. Simak artikel ‘Ini 3 Kriteria Fundamental Peraturan CFC di Berbagai Negara’.
TREN pengaturan yang terjadi di berbagai negara itu juga telah diterapkan di Indonesia. Beberapa pengaturan terkait dengan CFC rules sejatinya sudah termuat dalam peraturan setingkat PMK. Namun, pemerintah mulai memasukkannya dalam Pasal 34 PP 55/2022.
Sesuai dengan Pasal 34 ayat (1) PP 55/2022, menteri keuangan berwenang menetapkan saat diperolehnya dividen dan dasar penghitungannya oleh wajib pajak dalam negeri dengan ketentuan sebagai berikut:
Adapun penentuan saat diperolehnya dividen itu ditetapkan pada akhir bulan keempat setelah berakhirnya batas waktu kewajiban penyampaian SPT Tahunan bagi badan usaha di luar negeri untuk tahun pajak yang bersangkutan.
Jika badan usaha di luar negeri tidak memiliki kewajiban untuk menyampaikan SPT Tahunan atau tidak ada ketentuan batas waktu penyampaian SPT Tahunan, saat diperolehnya dividen ditetapkan pada akhir bulan ketujuh setelah tahun pajak yang bersangkutan berakhir.
Adapun ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam peraturan menteri keuangan. Denny Vissaro dalam analisis bertajuk Menyasar Kriteria CFC secara Tepat Sasaran memaparkan setidaknya ada 3 hal yang perlu diperhatikan dalam menentukan sejauh mana peraturan CFC dapat diaplikasikan.
Pertama, penentuan lokasi atau yurisdiksi entitas tersebut. Selama laba ditahan tersebut dilakukan oleh entitas terkendali yang berkedudukan di yurisdiksi pajak dengan tarif di atas level tertentu, atas laba tersebut tidak dianggap sebagai deemed dividend. Simak ‘Apa Itu Deemed Dividend?’.
Kedua, jenis penghasilan yang dapat dikategorikan sebagai penghasilan CFC. Beberapa negara menggunakan peraturan CFC hanya untuk menyasar pada penghasilan pasif dan tidak dikenakan pada penghasilan yang diperoleh dari aktivitas ekonomi riil.
Ketiga, penghitungan penghasilan entitas terkendali. Peraturan CFC perlu mempertimbangkan ketersediaan ketentuan spesifik. Pemajakan berganda harus dihindari sehingga pemberian kredit pajak luar negeri atas penghasilan CFC yang telah diatribusikan di luar negeri patut dipertimbangkan.
Ketentuan teknis berupa PMK tentu saja masih digodok pemerintah. Kendati demikian, berbagai ulasan, termasuk buku, yang selama ini memuat gagasan dan ide dari para profesional DDTC masih sangat relevan pada saat ini. Relevansinya baik untuk menyusun ketentuan teknis maupun mengantisipasi pengaturan ke depan. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.