Ilustrasi (Foto: DDTCNews)
DUA pekan lalu, kita mendengar berita yang cukup mengagetkan dari Singapura. Perekonomian negara yang sering dianggap sebagai penentu pertumbuhan global itu nyaris jatuh ke dalam resesi. Pertumbuhan ekonomi tahunannya pada kuartal III hanya 0,1% dengan pertumbuhan kuartalan 0,6%.
Namun, selama perang dagang Amerika Serikat (AS)-China belum berakhir, sinyal resesi itu masih menyala. Singapura kini memangkas proyeksi pertumbuhan ekonominya tahun ini menuju 0%-1% dari semula 1,5%-2,5%, level terlemah sejak krisis keuangan 2009 saat ekonominya limbung menjadi 0,6%.
Kejutan sebenarnya pekan ini adalah jatuhnya Hong Kong ke dalam resesi. Perekonomiannya pada kuartal III 2019 terkontraksi 3,2%, melanjutkan kontraksi kuartal sebelumnya 0,5%, terutama karena laju ekspor yang negatif dan jatuhnya belanja konsumen dan pendapatan turisme.
Penurunan sebesar 3,2% itu hampir setara dengan capaian Hong Kong pada kuartal terburuk selama krisis keuangan 2008. Dengan kontraksi itu pula, laju pertumbuhan ekonomi tahunan Hong Kong terjerembab menjadi minus 2,9% dari kuartal sebelumnya 0,5%.
Protes antipemerintah di jalanan yang berkepanjangan membuat kunjungan wisatawan turun hingga sepertiga. Dengan toko-toko dan jalan yang ditutup, penjualan ritel pun anjlok. Di sisi lain, perang dagang AS-China telah menggerus kepercayaan bisnis dan mengeringkan investasi.
Para analis meyakini kontraksi itu akan jadi awal kemerosotan panjang yang menyebabkan kerusakan permanen reputasi Hong Kong sebagai tempat berbisnis. Mereka yakin kontraksi akan berulang pada kuartal IV/2019, bahkan sampai kuartal I/2020 kelak.
Apa yang dialami Hong Kong melanjutkan apa yang tahun lalu sudah menimpa Argentina, Iran, Afrika Selatan, Turki dan Venezuela. Iran menghadapi blokade minyak oleh AS, Argentina terbebani utang yang sangat besar, dan Venezuela berada dalam krisis politik dan ekonomi.
Investor mungkin tidak terlalu khawatir karena Iran, Argentina dan Venezuela tidak terkait secara finansial dalam ekonomi global. Namun, Afrika Selatan dan Turki adalah soal lain. Keduanya terintegrasi dalam pasar regional dan internasional. Itu berarti, gagal bayar utang mereka berdampak lebih besar.
Kini dengan jatuhnya Hong Kong, dan nyarisnya jatuhnya Singapura ke dalam liang resesi, juga pukulan perlambatan ekonomi yang sudah dialami negara-negara lain seperti China, India, juga Thailand, apakah Indonesia juga akan mengalami nasib sama?
Kemarin, Badan Pusat Statistik mengumumkan pertumbuhan ekonomi tahunan kita pada kuartal III/2019 mencapai 5,02%, melambat dari periode sama tahun sebelumnya 5,17%. Begitupun secara kuartalan yang tumbuh 3,06%, lebih rendah dari kuartal sebelumnya 3,09%.
Sejalan dengan perlambatan itu, BPS mengumumkan kadar optimisme pelaku usaha dan konsumen dalam indeks tendensi bisnis menurun pada kuartal III/2019 menjadi 105,33 dari kuartal sebelumya 108,81. Indeks tendensi konsumen juga menurun ke 101,08 dari kuartal sebelumnya 125,68.
Konsumsi rumah tangga kita masih cukup stabil melaju 5,01%, tumbuh tipis dari tahun lalu 5%. Sayang, investasi kita melambat dari 6,98% menjadi 4,21%. Begitu pula konsumsi pemerintah yang melambat dari 6% ke 0,98%. Ekspor hanya tumbuh 0,02% karena impor terkontraksi -8,61%.
Pada titik terakhir itulah kita layak waspada. Ekspor masih bisa positif lebih hanya karena turunnya impor secara drastis—yang merefleksikan turunnya investasi ke depan. Satu hal yang pasti, di balik bayang-bayang resesi ini, ekonomi kita sudah semakin melambat. Ini yang perlu diantisipasi.
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.