JAKARTA, DDTCNews - Sengketa tunggakan dan denda pajak air permukaan antara Pemerintah Provinsi Papua dengan PT. Freeport Indonesia berakhir anti klimaks bagi pihak Pemprov Papua. Pasalnya, Hakim kasasi Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan PT Freeport Indonesia atas kasus tersebut.
Hakim membatalkan keputusan Pengadilan Pajak pada 18 Januari 2017 yang menolak permohonan banding Freeport dan mengesahkan tagihan pajak air permukaan Pemerintah Provinsi Papua ke Freeport selama 2011-2015 dengan nilai Rp 2,6 Triliun.
"Membatalkan Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put-79857/PP/M.XVB/ 24/2017, tanggal 18 Januari 2017," bunyi putusan yang dikutip dari situs MA, Kamis (19/4).
Putusan ini diambil dalam sidang permusyawaratan majelis pada 27 Februari 2018 yang dipimpin oleh Hakim Yulius dengan anggota majelis Hary Djatmiko dan Is Sudaryono. Hakim menganggap alasan-alasan yang diajukan Freeport dalam permohonan PK dapat diterima.
"Alasan-alasan permohonan Pemohon PK cukup berdasar dan patut untuk dikabulkan, karena terdapat putusan Pengadilan Pajak yang nyata-nyata bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku," tulis putusan MA.
Setidaknya terdapat tiga alasan yang diajukan korporasi asal Amerika Serikat tersebut untuk tidak membayar tagihan pajak yang dilayangkan oleh Pemprov Papua. Pertama, Freeport dan pemerintah RI terikat perjanjian Kontrak Karya yang diteken pada 1991. Kontrak tersebut kemudian berlaku lex specialis derograt lex geralis atau hukum yang bersifat khusus (lex specialis) mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis), dan berlaku sebagai Undang-Undang bagi pembuatnya.
Kedua, sifat kekhususan memiliki yurisdiksi dan kedudukan perlakuan hukum sama tanpa ada pembedaan perlakuan dalam pelayan hukum. Ketiga, perkara ini merupakan kebijakan fiskal yang merupakan otoritas pemerintah pusat atau Kementerian Keuangan.
Sengketa pajak ini bermula dari tagihan Surat Ketetapan Pajak Daerah Pajak Air Permukaan dari Pemprov Papua ke Freeport sejak 2011 hingga 2015 sebesar Rp 2,6 triliun. Pemprov menagih pajak air permukaan berdasarkan Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Papua Nomor 4 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah.
Dalam Perda tersebut, Pemprov Papua mengenakan tarif pajak kepada Freeport sebesar Rp120 per meter kubik per detik untuk tiap pengambilan air.
Sementara itu, Freeport bersikukuh enggan membayar pajak air berdasarkan tarif Pemprov Papua. Pasalnya, korporasi masih mengacu aturan dalam kontrak karya (KK), yang hanya mengakui pajak atas penggunaan air permukaan sebesar Rp10 per meter kubik per detik. Selain itu, Freeport juga mengesampingkan sanksi administrasi sebesar 25% dari pokok pajak yang harus dibayarkan. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.