JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menargetkan pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2019, angka defisit bisa ditekan kurang dari 2% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Menanggapi hal itu, Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri berpendapat pemerintah sebaiknya merancang ulang target defisit tersebut. Masalahnya, defisit di bawah 2% bukan cuma masalah realistis atau tidak, tetapi juga masalah diperlukan atau tidak.
Menurutnya, APBN bisa menjadi salah satu instrumen untuk mendorong pertumbuhan apalagi jika elemen dari pengeluaran cenderung memberi multiplier efek yang tinggi. Jadi, lanjutnya, tidak ada relevansi menekan defisit ketika permintaan di dalam ekonomi malah dalam kondisi rendah.
"Malah mungkin yang diperlukan adalah defisit yang lebih besar asalkan masih managable. Kalau masalah realistis atau tidak, kita lihat saja bagaimana pendapatan pemerintah," katanya, Selasa (10/4).
Menurut Yose, pajak saat ini masih belum bisa meningkat sesuai harapan. Selalu di bawah target dan tumbuh di bawah dari pertumbuhan ekonomi yang nominalnya mencapai 9% per tahun.
"Jika menutup dari pendapatan pajak masih akan sulit. Satu-satunya cara yakni mengaharapkan pemasukan dari pajak sumber daya alam dan komoditas," tandasnya.
Memang harga komoditas mineral dan pertanian mulai meningkat, yang memperbaiki pemasukan dari pajaknya, termasuk kenaikan harga minyak bumi. Namun, masih belum bisa dipastikan akan terus seperti itu. Apalagi, lanjut Yose, ada peningkatan ketidakpastian ekonomi dunia akibat perang dagang yang berlangsung saat ini.
Dari sisi pengeluaran, Indonesia masih menghadapi neraca primer yang negatif, artinya sebagian utang digunakan untuk membayar bunga. Tentunya pengeluaran juga akan menjadi semakin besar dan dibutuhkan defisit yang lebih besar.
"Apalagi banyak proyek infrastruktur yang akhirnya harus dibiayai negara sebagai support untuk BUMN. Meskipun secara accounting ini memang tidak dihitung sebagai defisit, tetapi tetap menjadi beban dari anggaran," ujarnya.
Yose menduga target pemerintah ini mungkin dilakukan untuk mengurangi kritik terhadap utang pemerintah yang dianggap besar. Namun, menurutnya pemerintah tidak boleh terjebak oleh kebijakan yang sifatnya politis tetapi tetap bersandarkan pada perhitungan ekonomi.
"Kalaupun memang perekonomian dapat didukung dengan pengeluaran yang lebih besar, mengapa tidak dilakukan saja," katanya.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) UGM Tony Prasetiantono sepakat pemerintah tidak perlu terlalu defensif dan overreacted. Jangan sampai pencanangan defisit di bawah 2% terhadap PDB itu seolah hanya untuk merespons kritik tentang utang pemerintah.
Menurutnya, pemerintah sebaiknya bersikap normal saja, tidak perlu mengerem terlalu berlebihan. Defisit 2,19% seperti pada APBN 2018 sudah cukup baik, sehingga tidak perlu diturunkan lagi.
"Nanti malah APBN kehilangan daya dorong. Itu malah berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia. Stimulus fiskal jadi melemah, loyo, tak bertenaga," katanya.
Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Rofyanto Kurniawan mengatakan pemerintah akan melakukan peningkatan penerimaan dari perpajakan dan PNBB serta optimalisasi belanja sebagai kebijakan utama tahun depan.
"Kami akan fokus pada belanja prioritas. Dalam KEM PPKF 2019 yang akan disampaikan ke DPR pertengahan Mei target pendapatan dan defisit masih dalam kisaran," katanya.
Rofyanto menambahkan pemerintah juga akan melanjutkan dan memperkuat reformasi di perpajakan serta kerja sama Internasional. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.