Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) BKF Pande Putu Oka Kusumawardani.
JAKARTA, DDTCNews – Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menyatakan terdapat beberapa aspek yang tengah dipertimbangkan pemerintah sebelum mengimplementasikan pajak karbon sebagaimana diatur dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) BKF Pande Putu Oka Kusumawardani mengatakan pajak karbon menjadi upaya pemerintah menurunkan emisi karbon. Namun, pemerintah perlu berhati-hati dalam menerapkan pajak karbon.
"Penerapan pajak perlu mempertimbangkan kesiapan pelaku usaha terkait, kestabilan pemulihan ekonomi pasca-Covid-19, serta tantangan dari ketidakpastian global lainnya," katanya dalam webinar yang diadakan Tax Centre UI, Senin (30/10/2023).
Putu Oka menuturkan pajak karbon telah diatur dalam UU HPP. Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mendorong perkembangan pasar karbon, inovasi teknologi, serta investasi yang lebih efisien, rendah karbon, dan ramah lingkungan.
Menurutnya, pajak karbon juga menjadi instrumen yang akan mendukung pengendalian iklim untuk mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Namun, penerapan pajak membutuhkan kesiapan yang matang dari semua pemangku kepentingan.
Selain itu, pemerintah juga tengah mencari momentum yang tepat untuk mengimplementasikannya di tengah ketidakpastian global seperti konflik geopolitik, pelemahan ekonomi China, serta disrupsi rantai pasok dunia.
Pemerintah berkomitmen menurunkan emisi karbon di Indonesia sebesar 31,89% dengan kemampuan sendiri dan 43,2% dengan dukungan internasional pada 2030. Selain itu, terdapat pula target net zero emission pada 2060 atau lebih cepat.
Menurutnya, upaya menurunkan emisi karbon karbon tersebut membutuhkan partisipasi dari sektor swasta. Sebagai informasi, pemerintah belum lama ini telah meresmikan perdagangan karbon melalui bursa karbon.
Nanti, pajak karbon dan bursa karbon akan menjadi instrumen yang saling melengkapi dalam upaya menurunkan emisi.
Di sisi lain, pemerintah mengundang investor berinvestasi pada industri hijau dengan menyediakan berbagai insentif fiskal dan pembiayaan inovatif, termasuk tax holiday, tax allowance, serta fasilitas PPN, bea masuk, dan PBB.
"Pemerintah juga mengambil kesempatan untuk memobilisasi dana melalui pembiayaan inovatif dengan terbitnya sukuk hijau, SDGs bond, blue bond, baik di tingkat global maupun nasional," ujar Putu Oka. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.