KEBIJAKAN BEA CUKAI

Bea Cukai Beberkan 7 Alasan Penambahan Barang Kena Cukai, Apa Saja?

Dian Kurniati | Jumat, 19 Juli 2024 | 16:30 WIB
Bea Cukai Beberkan 7 Alasan Penambahan Barang Kena Cukai, Apa Saja?

Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC Iyan Rubianto.

JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) menyatakan pemerintah terus mematangkan rencana ekstensifikasi barang kena cukai (BKC).

Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai DJBC Iyan Rubianto mengatakan terdapat setidaknya 7 alasan ekstensifikasi BKC perlu dilaksanakan. Meski demikian, lanjutnya, implementasi objek cukai baru perlu memperhatikan kondisi perekonomian nasional.

"Jangan sampai kemudian kita menggunakan cukai ini dan menghambat atau menurunkan produksi, ekonomi, atau industri," katanya dalam kuliah umum di PKN STAN, Jumat (19/7/2024).

Baca Juga:
Insentif Kepabeanan Tersalur Rp33,9 Triliun, Begini Dampak ke Ekonomi

Iyan mengatakan urgensi pertama ekstensifikasi BKC yakni jumlah BKC di Indonesia masih sangat terbatas dan sedikit dibandingkan dengan negara lain. Indonesia saat ini hanya menerapkan 3 BKC, paling sedikit di antara negara Asean.

Misal Vietnam memiliki 16 BKC, Laos 18 BKC, Thailand 21 BKC, dan Brunei Darussalam 22 BKC.

Kedua, penerimaan cukai di Indonesia masih sangat tergantung pada cukai hasil tembakau (CHT). Kontribusi CHT dapat mencapai 95% dari total penerimaan cukai.

Baca Juga:
Menkes Malaysia Ungkap Peran Cukai dalam Mereformulasi Minuman Manis

Ketiga, rasio penerimaan cukai dibandingkan dengan perpajakan secara keseluruhan masih rendah. Keempat, rasio penerimaan BKC terhadap PDB juga kecil.

Kelima, terdapat sustainability issue karena ketergantungan pada 1 objek cukai, yakni CHT.

"Selama ini teman-teman [pengusaha] di hasil tembakau merasa dieksploitasi karena memang 85%-95% [penerimaan cukai] dari hasil tembakau. Padahal sebenarnya ini bukan eksploitasi," ujarnya.

Baca Juga:
Bea Cukai Gerebek Gudang di Jepara, Ternyata Jadi Pabrik Rokok Ilegal

Urgensi keenam ekstensifikasi BKC yakni mengenai isu lingkungan dan kesehatan yang harus segera diadopsi. Adapun urgensi ketujuh, instrumen cukai dapat menjadi instrumen untuk mewujudkan keadilan dan keseimbangan sosial.

Iyan menambahkan UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) telah mengamanatkan penambahan atau pengurangan objek cukai perlu dibahas dengan DPR dan masuk dalam UU APBN. Dalam beberapa tahun terakhir, rencana ekstensifikasi BKC juga telah disampaikan kepada DPR.

Setelahnya, pemerintah akan merancang peraturan pemerintah (PP) sebagai payung hukum pengaturan penambahan jenis barang yang dikenakan cukai.

Baca Juga:
Dorong Pertumbuhan Ekonomi, DJBC Tawarkan Fasilitas Kepabeanan

"Ini tidak mudah. Nanti ujung-ujungnya kalau sudah ada ini [PP], tinggal menunggu kondisi masyarakat dan kemudian juga perekonomian," imbuhnya.

Pemerintah mulai mewacanakan pengenaan cukai plastik sejak 2016. Pada APBNP 2016, pemerintah untuk pertama kali mulai menetapkan target penerimaan cukai plastik senilai Rp1 triliun.

Target penerimaan cukai plastik secara konsisten masuk dalam APBN. Adapun pada tahun 2024, target cukai plastik ditetapkan senilai Rp1,84 triliun.

Baca Juga:
Dalam Sebulan, Bea Cukai Batam Amankan 434 HP-Tablet dari Penumpang

Sementara mengenai cukai MBDK, pemerintah mulai menyampaikannya kepada DPR pada awal 2020. Pemerintah dan DPR kemudian mematok target penerimaan cukai MBDK untuk pertama kalinya pada APBN 2022 senilai Rp1,5 triliun.

Pada 2024, target penerimaan cukai MBDK ditetapkan senilai 4,38 triliun.

Melalui dokumen Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2025, pemerintah pun kembali menuliskan rencana pengenaan cukai terhadap produk plastik dan BMDK pada tahun depan. Rencana ekstensifikasi BKC sebagai salah satu kebijakan untuk mendukung penerimaan negara. (sap)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Sabtu, 21 Desember 2024 | 10:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Insentif Kepabeanan Tersalur Rp33,9 Triliun, Begini Dampak ke Ekonomi

Sabtu, 21 Desember 2024 | 07:30 WIB BEA CUKAI KUDUS

Bea Cukai Gerebek Gudang di Jepara, Ternyata Jadi Pabrik Rokok Ilegal

Jumat, 20 Desember 2024 | 16:00 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Dorong Pertumbuhan Ekonomi, DJBC Tawarkan Fasilitas Kepabeanan

BERITA PILIHAN
Selasa, 24 Desember 2024 | 21:30 WIB CORETAX SYSTEM

Simak! Keterangan Resmi DJP Soal Tahapan Praimplementasi Coretax

Selasa, 24 Desember 2024 | 19:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Sempat Menolak, PDIP Kini Berbalik Dukung PPN 12 Persen

Selasa, 24 Desember 2024 | 18:00 WIB KANWIL DJP JAKARTA BARAT

Hingga November, Kanwil DJP Jakbar Kumpulkan Pajak Rp57,67 Triliun

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:27 WIB CORETAX SYSTEM

WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:00 WIB PMK 81/2024

Ini Aturan Terbaru Pengkreditan Pajak Masukan Sebelum Pengukuhan PKP

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:30 WIB PROVINSI SUMATERA SELATAN

Realisasi Pajak Rokok di Sumsel Tak Capai Target, Ini Penyebabnya

Selasa, 24 Desember 2024 | 16:00 WIB CORETAX SYSTEM

Nanti Ada Coretax, Masih Perlu Ajukan Sertifikat Elektronik?

Selasa, 24 Desember 2024 | 15:00 WIB KPP PRATAMA KOSAMBI

Utang Pajak Rp632 Juta Tak Dilunasi, Mobil WP Akhirnya Disita KPP