Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah mengatur ketentuan skema opsen pajak kendaraan bermotor (PKB) melalui UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Berdasarkan Pasal 1 ayat (61) dan (62) UU HKPD, opsen didefinisikan sebagai pungutan tambahan pada sebuah pajak dengan besaran persentase tertentu. Dalam UU HKPD, penerapan skema opsen salah satunya diterapkan pada pajak kendaraan bermotor (PKB).
"Opsen PKB adalah opsen yang dikenakan oleh kabupaten/kota atas pokok PKB ... ," bunyi penggalan Pasal 1 ayat (62) UU HKPD, dikutip pada Rabu (1/3/2023).
Dalam ranah internasional, opsen dikenal juga dengan istilah piggyback tax. Menurut Talierco (2004), piggyback tax merupakan salah satu pemberian wewenang kepada sub-national government (SNG) untuk menambahkan besaran tarif pajak lagi pada sebuah pajak.
Adapun menurut Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan ada 3 ciri utama pokok pelaksanaan piggyback tax. Pertama, pemerintah daerah (pemda) memiliki wewenang untuk menambahkan persentase tertentu. Kedua, pemda tidak memiliki kebebasan untuk menentukan basis pajak. Ketiga, administrasi pemungutan tetap dilakukan pemerintah pusat.
Pengaturan mengenai opsen PKB diatur dalam Pasal 83 UU HKPD. Secara lebih terperinci, terkait dengan besaran tarif diatur dalam Pasal 83 ayat (1) huruf a UU HKPD . Adapun wewenang penentuan tarif opsen PKB dilimpahkan lagi ke daerah untuk menetapkan.
"Opsen PKB sebesar 66% yang dihitung dari besaran pajak terutang," bunyi penggalan Pasal 83 ayat (1) huruf a UU HKPD, dikutip pada Rabu (1/3/2023).
Menyusul kebijakan tersebut, pertanyaan yang kerap kali muncul adalah apakah skema opsen PKB dapat menimbulkan beban pajak yang lebih tinggi? Sesuai dengan perubahan tarif PKB menjadi paling tinggi sebesar 1,2% dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, semestinya tidak ada beban pajak yang lebih tinggi. Berikut ini adalah perhitungannya.
Total tarif pajak terutang (maksimal) = tarif PKB + tarif opsen PKB
= 1,2% + (66% x 1,2%)
= 1,2% + 0,792%
= 1,992% [masih lebih rendah dari tarif di UU PDRD, yakni 2%]
Untuk diketahui, skema opsen PKB menggantikan skema bagi hasil yang selama ini digunakan. Menurut DJPK, skema bagi hasil kerap kali menimbulkan masalah seperti penyaluran dana yang tidak pasti atau selalu terlambat dari pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota. (Sabian Hansel/sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.