UU HPP

Aturan Turunan UU HPP Soal PPN Disiapkan, 4 Hal Ini Perlu Diperhatikan

Redaksi DDTCNews | Sabtu, 04 Desember 2021 | 19:30 WIB
Aturan Turunan UU HPP Soal PPN Disiapkan, 4 Hal Ini Perlu Diperhatikan

Guru Besar Perpajakan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) Gunadi. (tangkapan layar)

JAKARTA, DDTCNews - Diundangkannya UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) ikut mengubah sejumlah ketentuan dan karakter pengenaan pajak. Salah satunya, pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang mengalami penyesuaian.

Guru Besar Perpajakan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (FIA UI) Gunadi lantas menjelaskan sejumlah latar belakang di balik perubahan ketentuan PPN yang dituangkan pemerintah melalui UU HPP.

Dia mengungkapkan perekonomian nasional memang makin membaik saat ini. Hal ini ditandai dengan pertumbuhan realisasi penerimaan PPN sampai Oktober 2021 sebesar 20,01% atau Rp348,42 triliun.

Baca Juga:
Catat! Pengkreditan Pajak Masukan yang Ditagih dengan SKP Tak Berubah

"Kalau tidak ditambah dengan berbagai effort (upaya tambahan), realisasi penerimaan negara sampai akhir tahun kira-kira sebesar 95%, oleh karena itu perlu effort untuk mengoptimalkan penerimaan itu,” ujar Gunadi pada Seminar Nasional Taxplore FIA UI, Sabtu (4/12/2021).

Gunadi lantas membedah lebih dalam perubahan terkait PPN yang diatur dalam UU HPP. Menurutnya, ada 6 pasal dalam UU PPN s.t.d.d. UU Cipta Kerja (UU CK) yang diubah dalam UU HPP.

Perubahan yang terjadi di antaranya pada Pasal 4A mengenai non BKP/JKP, Pasal 7 mengenai kenaikan tarif PPN, Pasal 8A mengenai pengkreditan pajak masukan, Pasal 9 mengenai penjelasan ketentuan sebelumnya, Pasal 9A mengenai pungutan PPN atas besaran tertentu, dan Pasal 16B tentang kriteria PPN bebas.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Dari sejumlah perubahan yang terjadi, Gunadi memberi catatan kepada pemerintah. Dia memandang ada pengaburan tipe PPN di Indonesia yang diatur dalam UU Cipta Kerja dan UU HPP.

Gunadi memberi contoh ketentuan dalam Pasal 9 ayat (2a) UU PPN, yang mengatur Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang belum berproduksi dan belum ada penyerahan terutang pajak, pajak masukan atas barang modal dapat dikreditkan.

Namun, dalam UU Cipta Kerja dan UU HPP yang mengubah pasal itu, hanya PKP yang belum melakukan penyerahan/ekspor BKP yang dapat dikreditkan. Ketentuan itu tidak mengatur PKP yang belum berproduksi/tidak.

Baca Juga:
WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

Lebih lanjut, Gunadi menjelaskan adanya kekosongan hukum dengan penghapusan beberapa ayat dalam Pasal 9 ayat (8) UU PPN. Padahal substansi ketentuan yang dihapus tersebut berkaitan dengan konteks perpajakan pada saat ini. Oleh karena itu, menurutnya pada aturan turunan UU HPP perlu diperjelas kedudukan substansi yang dihapus tersebut pada saat ini.

Gunadi menekankan terdapat 4 prinsip dasar pengenaan PPN. Pertama, broad base atas seluruh penyerahan atau impor barang/jasa. Kedua, pungutan pada tiap tahap produksi dan jalur distribusi.

Ketiga, PKP harus dapat mengkreditkan pajak masukan bukan beban. Keempat, bersifat domestik melalui pengenaan di tempat serah atau konsumsi barang/jasa.

Baca Juga:
Ini Aturan Terbaru Pengkreditan Pajak Masukan Sebelum Pengukuhan PKP

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Subdit PPN Industri Direktorat Perpajakan 1 Ditjen Pajak (DJP) Yosefin Wiwik Widianti mengatakan sejak adanya Pandemi Covid-19 telah ada 3 UU yang mengubah ketentuan PPN, yaitu PERPPU No. 1 Tahun 2020, UU Cipta Kerja, dan UU HPP.

“Latar belakang perubahan UU PPN, dikarenakan C-Efficiency (penerimaan) PPN Indonesia yang rendah yakni 63,58%. Lebih rendah dibandingkan Singapura atau Thailand. Hal ini dikarenakan banyaknya tax exemption dan fasilitas PPN,” kata Wiwik.

Atas kondisi tersebut, ujarnya, pemerintah melakukan perubahan UU PPN. Perubahan tersebut terutama terjadi terhadap 3 substansi. Pertama, pengurangan objek dan fasilitas PPN, melalui amendemen Pasal 4A dan Pasal 16B UU PPN. Kedua, kenaikan tarif PPN, melalui amendemen Pasal 7 UU PPN. Ketiga, kemudahan dan kesederhanaan melalui penambahan Pasal 9A UU PPN.

"Kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap dari 10% menjadi 11% dan kemudian 12%. Dalam rangka antisipasi Pandemi Covid-19, juga untuk mendukung kemudahan berusaha, dan mendukung peningkatan penerimaan pajak," kata Wiwik. (rizki zakariya/sap)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:27 WIB CORETAX SYSTEM

WP Bisa Akses Aplikasi Coretax Mulai Hari Ini, Fiturnya Masih Terbatas

Selasa, 24 Desember 2024 | 17:00 WIB PMK 81/2024

Ini Aturan Terbaru Pengkreditan Pajak Masukan Sebelum Pengukuhan PKP

BERITA PILIHAN
Rabu, 25 Desember 2024 | 15:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Pemerintah akan Salurkan KUR Rp300 Triliun Tahun Depan

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:30 WIB PSAK 201

Item-Item dalam Laporan Posisi Keuangan Berdasarkan PSAK 201

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 12:30 WIB KEBIJAKAN KEPABEANAN

Fitur MFA Sudah Diterapkan di Portal CEISA sejak 1 Desember 2024

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Dokumen yang Dilampirkan saat Pemberitahuan Perpanjangan SPT Tahunan

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:37 WIB KURS PAJAK 25 DESEMBER 2024 - 31 DESEMBER 2024

Kurs Pajak Terbaru: Rupiah Melemah terhadap Mayoritas Mata Uang Mitra