Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Mahkamah Konstitusi (MK) meminta kepada pemohon bernama Surianingsih untuk memperbaiki permohonan pengujian materiil atas Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) UU KUP s.t.d.t.d UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams mengatakan pemohon perlu menyampaikan perbaikan atas permohonan pengujian materiil paling lambat pada Senin, 11 September 2023 pukul 09.00 WIB.
"Waktu 14 hari itu cukup waktunya. Dengan demikian sidang selesai dan dinyatakan ditutup," ujar Adams menutup sidang pemeriksaan pendahuluan pada Senin (28/8/2023).
Jadwal sidang berikutnya akan diinfokan lebih lanjut setelah pemohon menyampaikan perbaikan permohonan kepada MK.
Dalam persidangan, Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah meminta kepada pemohon bersama kuasa hukumnya yakni Cuaca dan Shinta Donna Tarigan untuk berhati-hati dalam mengajukan permohonan pengujian materiil atas suatu pasal.
Menurut Guntur, pemohon dan kuasa hukum perlu memastikan apakah ketentuan pemeriksaan bukti permulaan (bukper) pada Pasal 43A UU KUP s.t.d.t.d UU HPP memang benar-benar ditujukan untuk wajib pajak secara umum atau hanya untuk petugas Ditjen Pajak.
"Apabila kita baca utuh pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) ini, ‘pegawai direktorat’ berkali-kali disebutkan. Jadi, addressat dari norma ini harus dipastikan kepada siapa? Sebab perbedaan ini dapat memengaruhi kedudukan hukum yang mengajukan pengujian norma ini," ujar Guntur.
Adapun Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih memberikan sejumlah catatan tentang identitas pemohon, kedudukan pemohon, serta anggapan kerugian pemohon akibat ketidakpastian hukum dari pelaksanaan norma yang diujikan.
"Dalam anggapan ketidakpastian yang potensial dialami pemohon atas putusan praperadilan ini, harus dijelaskan dan diperkuat, sehingga pemohon memiliki legal standing," kata Enny.
Secara umum, pemohon dalam permohonan pengujian materiilnya menyatakan dirinya berpotensi mengalami kerugian akibat Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP.
Menurut pemohon, pemeriksaan bukper sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 43A ayat (1) dan ayat (4) UU KUP s.t.d.t.d UU HPP dilakukan dengan upaya paksa dan pemohon wajib mengikuti upaya paksa tersebut. Namun, pemohon selaku wajib pajak tidak bisa menggugat apabila terdapat kesalahan prosedur dalam pelaksanaan bukper.
"Tidak ada jaminan posisi seimbang dalam prosedur pemeriksaan bukper pidana perpajakan yang dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia terhadap pemohon," tulis pemohon dalam permohonannya.
Pemohon lantas meminta MK untuk menyatakan frasa pemeriksaan bukper sebelum penyidikan pada Pasal 43A ayat (1) UU KUP s.t.d.t.d. UU HPP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai pemeriksaan bukper yang merupakan bagian dari penyidikan.
Pemohon juga meminta MK untuk menyatakan frasa tata cara pemeriksaan bukper tindak pidana di bidang perpajakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan atau berdasarkan PMK dalam Pasal 43A ayat (4) UU KUP s.t.d.t.d. UU HPP bertentangan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai hanya berkenaan dengan hal-hal yang bersifat teknis-administratif dan bukan pembatasan dan/atau perluasan hak dan kewajiban warga negara. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.