PERSAINGAN usaha mendorong perusahaan mengambil langkah yang dapat meningkatkan daya saing dan produktivitasnya. Langkah yang diambil di antaranya melakukan merger, pemekaran usaha, atau pengambilalihan usaha.
Dalam praktiknya baik merger, pemekaran usaha, maupun pengambilalihan usaha akan melibatkan proses pengalihan harta ke entitas lain atau entitas yang baru terbentuk. Proses pengalihan harta tersebut berimplikasi pada adanya kewajiban pajak yang harus dipenuhi.
Kewajiban pajak yang muncul berkaitan dengan adanya pajak penghasilan (PPh) terutang atas keuntungan dalam pengalihan harta. Keuntungan itu berasal dari selisih harga pasar aset dengan harga buku aset.
Namun, dalam kondisi tertentu, wajib pajak diperkenankan untuk menggunakan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka merger, pemekaran usaha, atau pengambilalihan usaha.
Penggunaan nilai buku ini menyebabkan tidak adanya keuntungan sehingga tidak terutang PPh. Simak “Pemekaran Usaha Tanpa Kena Pajak di Awal? Ini Kriterianya”
Adapun agar dapat menggunakan nilai buku, maka wajib pajak harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan dan mendapatkan persetujuan Dirjen Pajak. Lantas sebenarnya apa yang dimaksud dengan nilai buku?
Definisi
NILAI buku adalah nilai aset yang tercantum dalam catatan akuntansi (pembukuan) milik wajib pajak. Nilai yang tertera dalam nilai buku biasanya sudah dikurangi biaya penyusutan (IBFD, 2015). Nilai buku tersebut biasanya dapat dilihat dalam laporan neraca suatu entitas (OECD, 2003).
Selaras dengan itu, Cyssco (2009) mendefinisikan nilai buku sebagai nilai suatu aset yang dinyatakan dalam pembukuan. Menurut Cyssco apabila suatu aset mengalami penyusutan, maka nilai buku dari aset tersebut adalah harga belinya dikurangi akumulasi penyusutan aset.
Hal ini berarti nilai buku awalnya dicatat sesuai dengan harga saat aset tersebut dibeli. Selanjutnya, setiap tahun nilai aset itu dikurangi dengan biaya penyusutan. Adanya kaitan nilai buku dengan penyusutan membuat nilai buku suatu aset berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain.
Hal ini terjadi karena nilai buku suatu aktiva dipengaruhi metode penyusutan yang digunakan perusahaan itu. Apabila perusahaan menggunakan metode penyusutan aset dengan metode garis lurus tentu akan berbeda dengan perusahaan yang menggunakan metode saldo menurun.
Contoh sederhana perhitungan nilai buku dapat disimak dalam ilustrasi berikut. PT.Abadi Jaya memiliki 2 buah mobil dengan total nilai Rp600 juta yang dibeli pada 1 Januari 2017.
PT.Abadi Jaya menggunakan metode penyusutan garis lurus untuk menghitung besarnya penyusutan. Adapun masa manfaat mobil tersebut dihitung selama 8 tahun.
Dengan demikian, penyusutan mobil tiap tahun adalah Rp75 juta (600 juta dibagi 8 tahun). Akumulasi penyusutan mobil per 31 Desember 2020 adalah Rp300 juta (75 juta x 4 tahun). Maka, nilai buku mobil tersebut per 31 Desember 2020 adalah Rp300juta (Rp600 juta dikurangi Rp300 juta).
Nilai buku ini bisa berbeda dengan nilai pasar. Pasalnya, nilai pasar secara ringkas adalah nilai suatu aset yang berlaku saat ini jika dijual di pasaran. Sementara itu, seperti yang telah diuraikan nilai buku merupakan nilai yang tercantum dalam pembukuan dan berasal dari perhitungan akuntansi.
Simpulan
NILAI buku adalah nilai sebuah aset atau kelompok aset yang tercantum dalam pembukuan wajib pajak. Nilai buku tersebut merupakan nilai yang sudah dikurangi dengan biaya penyusutan. Nilai buku bisa jadi lebih tinggi atau lebih rendah dibandingkan dengan nilai pasar.
Ketentuan penggunaan nilai buku atas pengalihan harta dalam rangka merger, pemekaran usaha, pengambilalihan usaha dapat disimak dalam UU PPh, dan PMK No. 52/PMK.010/2017 s.t.d.t.d. PMK No. 56/PMK.010/2021. Simak “PMK Baru Soal Penggunaan Nilai Buku untuk Pemekaran Usaha” (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.