Ilustrasi. (Kemenkeu)
JAKARTA, DDTCNews – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat posisi utang pemerintah hingga akhir Mei 2021 mencapai Rp6.418 triliun
Berdasarkan pada realisasi itu, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) sebesar 40,49%. Besaran lebih rendah dibandingkan dengan posisi akhir April 2021 sebesar 41,18%. Posisi utang tetap naik secara nominal seiring dengan tingginya kebutuhan pembiayaan di tengah pandemi Covid-19.
"Hal ini disebabkan kondisi ekonomi Indonesia yang masih berada dalam fase pemulihan akibat perlambatan ekonomi yang terjadi di masa pandemi Covid-19," tulis pemerintah dalam Laporan APBN Kita edisi Juni 2021, dikutip pada Kamis (24/6/2021).
Laporan itu menyebut posisi utang pemerintah pusat secara nominal mengalami peningkatan dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Namun, nilainya menurun dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai Rp6.527,29 triliun.
Pembiayaan utang tahun ini digunakan sebagai instrumen yang mendukung kebijakan countercyclical serta dikelola secara pruden, fleksibel dan terukur untuk menangani pandemi Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
Jika diperinci, utang pemerintah masih didominasi utang dalam bentuk surat berharga negara (SBN). Kontribusi SBN terhadap utang pemerintah mencapai 86,94% atau senilai Rp5.580,02 triliun. SBN dalam mata uang rupiah mencapai Rp4.353,56 triliun, sedangkan dalam valuta asing Rp1.226,45 triliun. Keduanya diterbitkan dalam bentuk surat utang negara dan surat berharga syariah negara.
Sementara itu, komposisi utang pinjaman dari pinjaman tercatat hanya 13,06% atau senilai Rp838,13 triliun. Angka itu terdiri atas pinjaman dalam negeri Rp12,32 triliun dan pinjaman luar negeri Rp825,81 triliun.
Meski meningkat, pemerintah menegaskan senantiasa menyiapkan strategi untuk memitigasi volatilitas pasar keuangan serta mengelola risiko agar utang tetap terjaga dalam batas aman. Salah satunya terlihat dari risiko suku bunga mengambang (variable rate) dan suku bunga tetap (fixed rate) yang selalu dikelola dengan hati-hati.
Sebagai upaya mitigasi pembiayaan dan mengurangi ketergantungan pada valuta asing (valas), porsinya kini diturunkan dari 44,6% pada tahun 2015 menjadi 32,0% pada akhir Mei 2021.
Selanjutnya, indikator risiko refinancing juga terjaga dengan waktu jatuh tempo utang rata-rata (average time to maturity/ATM) yang menurun dari semula 9,39 tahun pada 2015 menjadi 8,7 tahun pada Mei 2021.
"Lebih lanjut, potensi tapering off oleh pemerintah Amerika Serikat yang dapat memicu kenaikan yield UST tetap dalam pemantauan pemerintah sehingga pemerintah dapat mengantisipasi dengan membuat strategi serta mitigasi risiko pembiayaan utang,” imbuh pemerintah. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.