KEBIJAKAN dalam RKP (Rencana Kerja Pemerintahan) 2019 menitikberatkan pada pembangunan sumber daya manusia, pengurangan kesenjangan, penciptaan lapangan kerja, ketahanan pangan, energi, dan sumber daya air, serta stabilitas keamanan dan Pemilu.
Sumber pendanaan dari pembangunan tersebut sebagian besar dari pajak. Pemerintah menargetkan penerimaan negara pada 2019 mencapai Rp2,142,5 triliun yang terdiri dari penerimaan perpajakan Rp1,780,9 triliun, penerimaan negara bukan pajak Rp361, 1 triliun, dan penerimaan hibah Rp435,3 miliar.
Target penerimaan perpajakan pada postur RAPBN 2019 sebesar Rp1,781 triliun yang terdiri dari Rp1,572,3 triliun penerimaan pajak dan Rp208,7 triliun penerimaan bea dan cukai. Penerimaan tersebut meningkat 10,1% dari target penerimaan pajak dalam APBN 2018.
Anggaran pendapatan pajak yang terus meningkat jelas memperlihatkan tantangan yang dihadapi pemerintah adalah short fall pajak. Pemerintah selama empat tahun terakhir belum pernah mencapai target penerimaan pajak yang dianggarkan.
Salah satu permasalahannya adalah basis pajak tergerus karena praktik penghindaran dan pengelakan pajak, yang memanfaatkan terbatasnya gerak-gerik atau akses yang dimiliki negara dalam hal ini Dirjen Pajak terhadap informasi keuangan yang sebenarnya dari para wajib pajak.
Salah satu modus yang dipakai oleh para wajib pajak yang tidak taat ini adalah menggeser profit dan menyimpan uang dari hasil kegiatan penumpukan kekayaannya di negara-negara suaka pajak (tax havens) atau Offshore Financial Center (OFC) Untuk mengatasi upaya penghindaran dan pengelakan pajak warga negaranya melalui penyembunyian aset di OFC.
Kemudian semua negara G20 sepakat untuk meningkatkan kerja sama perpajakan dan memberikan mandat kepada OECD untuk menyusun model FATCA yang dapat diterapkan secara global. Kemudian OECD dan Global Forum on Transparency and Exchange of Information for Tax Purposes menyusun Common Reporting Standard(CRS), dengan dukungan penuh dari para negara anggota G20 yang pada akhirnya sepakat untuk menerapkan Automatic Exchange of Information (AEoI) berdasarkan CRS tahun 2017 atau 2018.
Indonesia juga ikut mendukung OECD untuk menetapkan standar global untuk pelaksanaan AEoI, serta ikut berkomitmen untuk mengimplementasikan AEoI secara resiprokal berdasarkan CRS mulai 2017 dan 2018.
Pemerintah juga memiliki kebijakan teknis yaitu, peningkatan efektifitas pengawasan dalam rangka peningkatan kepatuhan wajib pajak antara lain melalui implementasi AEoI dan akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan.
Implementasi AEoI ini memberikan harapan baru bagi Ditjen Pajak karena data menunjukkan pertukaran informasi antar negara sangat efektif untuk mendongkrak penerimaan pajak. Sebagai contoh, di periode 2010-2014 Swedia membuat hampir 400 permintaan pertukaran informasi dengan jumlah total penerimaan pajak yang bisa dipungut mencapai 330 juta dolar. Australia juga pernah mengajukan 400 permintaan dan pajak yang berhasil diselamatkan (tax recovered) mencapai 326 juta dolar.
Dengan adanya pertukaran data informasi keuangan setidaknya otoritas perpajakan indonesia dapat melihat beberapa data yaitu identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening keuangan, identitas lembaga jasa keuangan, penghitungan atau nilai rekening keuangan dan yang terhubung dengan rekening keuangan.
Data data yang diperoleh bisa digunakan pemerintah untuk melakukan pengawasan, meminimalisir para pengemplang pajak, dan menggali potensi perpajakan yang belum dibayarkan. Data yang nantinya diterima juga mampu mendeteksi tambahan harta yang diungkapkan pasca tax amnestydan bisa berpotensi menambah PPh Pasal 25 dan 29.
Sejauh ini AEoI memang belum terlihat manfaatnya, namun untuk Indonesia, momentum ini menghadirkan peluang sekaligus tantangan bagi Ditjen Pajak. Hal ini dapat dimanfaatkan sebagai salah satu langkah strategis reformasi perpajakan secara menyeluruh dengan tujuan akhir untuk menciptakan sistem perpajakan yang efektif dan kredibel.
Dengan dinyatakannya Indonesia siap untuk melakukan pertukaran informasi secara resiprokal karena telah selesai menindaklanjuti seluruh rekomendasi mengenai confidentiality and data safeguards yang diberikan oleh Global Forum.
Era baru penggalian potensi dan intensifikasi pajak pun dimulai AEoI merupakan langkah strategis untuk memperbaiki sistem pengelolaan informasi keuangan di Indonesia dan mengurangi potensi penyelewengan pada sektor penerimaan negara.
Saat ini, Kementerian Keuangan juga sedang gencar mereformasi perpajakan yang melibatkan Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai dengan lima pilar, meliputi perbaikan di bidang struktur organisasi, SDM, teknologi informasi dan basis data, proses bisnis, dan peraturan perundang-undangan.
Namun demikian, tugas dan tantangan pada tahun 2019 ini tetap memerlukan strategi sebagai upaya penguatan reformasi di bidang perpajakan dan tentunya mengoptimalkan penerimaan pajak. Salah satu harapan adalah dengan adanya implementasi AEoI ini.*
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.