KEBIJAKAN PAJAK

Soal Wacana Tax Amnesty Jilid II, Ini Pendapat Pakar Pajak

Muhamad Wildan | Rabu, 03 Maret 2021 | 12:05 WIB
Soal Wacana Tax Amnesty Jilid II, Ini Pendapat Pakar Pajak

Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji dalam acara Profit bertajuk Perlukah Tax Amnesty Jilid II? Yang disiarkan CNBC Indonesia TV, Rabu (3/3/2021).

JAKARTA, DDTCNews – Pakar pajak menilai tidak ada urgensi bagi pemerintah untuk kembali menggelar program pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II.

Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan secara umum terdapat 4 tujuan pemberian tax amnesty, yakni meningkatkan penerimaan pajak jangka pendek, menjaga ekosistem kepatuhan pajak, mendorong repatriasi dana di luar negeri, dan menjadi jembatan untuk menyongsong sistem pajak baru yang lebih baik.

"Dari keempat tujuan tersebut, dalam konteks sekarang ini, justifikasinya tidak kuat atau lemah," ujar Bawono dalam acara Profit bertajuk Perlukah Tax Amnesty Jilid II? Yang disiarkan CNBC Indonesia TV, Rabu (3/3/2021).

Baca Juga:
Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Berdasarkan pada hasil berbagai kajian, tax amnesty yang diselenggarakan secara berulang dalam waktu berdekatan terbukti tidak mampu memberi penerimaan pajak yang signifikan.

Bila tax amnesty pada 2016 dan 2017 berhasil menambah penerimaan negara hingga Rp100 triliun, tax amnesty yang diselenggarakan kembali tidak akan menghasilkan penerimaan pajak yang sama besarnya.

Pemberian tax amnesty secara berulang juga berpotensi menciptakan moral hazard dan menggerus kepatuhan wajib pajak. Pengulangan kebijakan tax amnesty, sambungnya, tidak mendorong wajib pajak untuk memperbaiki kepatuhannya.

Baca Juga:
Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

"Kala ada sinyal [tax amnesty] berulang, yang terjadi adalah timbulnya persepsi dari wajib pajak 'toh akan ada tax amnesty lagi'. Ini mencederai rasa kepatuhan yang ada di masyarakat," ujar Bawono.

Pada tax amnesty yang diselenggarakan pada 2016 dan 2017, pemerintah sendiri sudah mengungkapkan akan ada babak baru sistem perpajakan di Indonesia. Setelah tax amnesty, pemerintah telah berkomitmen memperbaiki sistem pajak melalui reformasi perpajakan.

Bila tax amnesty diberikan lagi, kepercayaan masyarakat terhadap agenda perpajakan yang sudah dicanangkan sebelumnya akan turun.

Baca Juga:
Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

"Kita tahun ketika tax amnesty 2016 lalu, itu nanti akan ada sistem pajak baru, ada akses informasi keuangan, dan agenda reformasi pajak. Kalau tax amnesty dilakukan lagi, ini babak baru mana yang dimaksud?" imbuhnya.

Untuk menjaga kesinambungan fiskal, menurut dia, kebijakan relaksasi yang telah dikeluarkan pemerintah juga perlu diimbangi dengan kebijakan optimalisasi penerimaan pajak. Langkah ini dilakukan tanpa mendistorsi perekonomian.

Salah satu contoh langkah yang bisa dijalankan adalah perluasan basis pajak dengan menutup celah ketidakpatuhan wajib pajak tertentu. Kepatuhan pajak dari sektor usaha yang menikmati windfall di tengah pandemi, seperti sektor ekonomi digital, dapat ditingkatkan.

"Jadi ada cara lain di luar tax amnesty," ujar Bawono. (kaw)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

03 Maret 2021 | 19:55 WIB

Saya setuju dengan pendapat Bapak Bawono. Adanya wacana kebijakan tax amnesty jilid 2 akan menimbulkan persepsi di masyarakat bahwa nantinya juga akan ada TA, jadi tidak apa kalau tidak patuh/comply. Tidak ada jaminan juga bahwa akan mengamankan penerimaan negara sebanyak TA 2016 lalu, jadi justifikasinya sangat lemah. Semoga dapat dipertimbangkan dan lebih berfokus pada formulasi kebijakan pajak dalam rangka pemulihan ekonomi akibat pandemi seperti saat ini.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Rabu, 25 Desember 2024 | 13:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Kontribusi ke Negara, DJP: Langganan Platform Digital Kena PPN 12%

Rabu, 25 Desember 2024 | 09:00 WIB LAYANAN PAJAK

Kantor Pajak Telepon 141.370 WP Sepanjang 2023, Kamu Termasuk?

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak