Dirjen Pajak Suryo Utomo. (Foto: Youtube Kemenkeu)
JAKARTA, DDTCNews - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan terus melakukan pengawasan terhadap seluruh transaksi yang melibatkan hubungan istimewa guna meminimalisasi praktik penghindaran pajak.
Hal ini disampaikan oleh Dirjen Pajak Suryo Utomo menanggapi penghitungan Tax Justice Network yang mengestimasikan nominal penghindaran pajak di Indonesia mencapai US$4,86 miliar atau setara dengan Rp69,1 triliun per tahun.
"Praktik penghindaran pajak biasanya lewat transaksi antarpihak yang memiliki hubungan istimewa baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Untuk transaksi luar negeri kami akan manfaatkan kerja sama dengan treaty partner dalam konteks pertukaran informasi," ujar Suryo, Senin (23/11/2020).
Selain pertukaran informasi, Suryo mengatakan DJP juga memiliki langkah lain melalui penelitian atas transfer pricing dan juga meneliti debt to equity ratio guna mencegah praktik base erosion and profit shifting (BEPS).
Seperti diketahui sebelumnya, Tax Justice Network dalam laporan The State of Tax Justice 2020 melaporkan penghindaran pajak per tahun yang terjadi di Indonesia setara dengan 4,39% total penerimaan pajak dan 42,29% dari total belanja kesehatan.
Menurut penghitungan Tax Justice Network, nominal pajak sebesar US$4,86 miliar per tahun tersebut seharusnya cukup untuk membayar gaji 1,09 juta perawat dalam setahun.
Apabila dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya, Tax Justice Network mencatat total penerimaan pajak Indonesia yang hilang akibat penghindaran pajak merupakan yang terbesar keempat se-Asia setelah China, India, dan Jepang.
Tax Justice Network mencatat peran Indonesia dalam penghindaran pajak secara global mencapai 0,33%, turut berperan atas hilangnya US$1,41 miliar penerimaan pajak yang menjadi hak negara lain akibat penghindaran pajak. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Konsultan bisa juga sbg penyambung pengetahuan ttg perpajakan ke WP.. sekali gus berfungsi sbg "Penyuluh". Gak usah dipersulit untuk jadi konsultan yang penting tanggung jawab ttg ilmunya. bukan sbg "Dukun/Bidan" SPT ... TTg yang mewakili WP OP sebaiknya dibolehkan dikuasakan oleh keluarga atau org yg dianggap mampu. (non Konsultan). Dan yang perlu perhatian semua konsultan harus melaporkan siapa saza yang di pegang ke KPP ttt. spy apa gampang kontrolnya.
DJP sebaiknya sering komunkasikan ttg aturan dan konfirmasi jika ada data.. lain yang material.. sehingga cepat penanganan dlm hal apakah perbaikan SPT atau tanggapan ttg data terkait. Klo didakan uji kepatuhan memakan wkt lama dan tenaga fiskus untuk itu dirasa kurang... memadai.
Konsultan sebaiknya sebagai pintu masuk sbg agent of development dari keberhasilan penerimaan Negara (Tax Rasio terus akan lebih baik lagi). Namun sering terjadi minimnya data WP yg diberikan kpd Konsultan. Namun dilapangan semesti Konsultan lebih mengerti ttg seluk beluk Usaha WP yg berikan Kuasa. Maka daftar WP yang di kelola sebaiknya dilaporkan secara rinci. sehingga kontrol dan komunikasi akan lebih mudah.