SECARA umum, terdapat 3 jenis sanksi administrasi di bidang perpajakan, yakni denda, bunga, dan kenaikan. Pada artikel sebelumnya telah diuraikan sanksi administratif berupa bunga dan denda. Pada artikel kali ini akan dibahas lebih lanjut mengenai alasan pengenaan sanksi administrasi berupa kenaikan.
Dalam rezim pajak di Indonesia, sanksi administrasi berupa kenaikan dipahami sebagai hukuman secara administrasi berupa kenaikan jumlah pajak yang harus dibayar atas pelanggaran terhadap ketentuan material (Rahayu, 2006). Sanksi kenaikan dikenakan agar wajib pajak tidak berupaya untuk melakukan penghindaran pembayaran pajak karena dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara (Saidi, 2014).
Namun demikian, pada dasarnya pengenaan sanksi administrasi di bidang perpajakan harus memenuhi prinsip proporsionalitas (Pistone, 2019). Artinya, besaran sanksi yang dikenakan disesuaikan dengan derajat kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan wajib pajak. Oleh sebab itu, umumnya besaran sanksi pajak berbeda tergantung dari pelanggaran yang dilakukan.
Adapun ketentuan mengenai sanksi kenaikan diatur dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d. Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU KUP). Berdasarkan pada UU KUP, setidaknya terdapat 4 alasan yang menyebabkan pengenaan sanksi administrasi kenaikan.
Pertama, sanksi kenaikan akibat diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) berdasarkan Pasal 13 ayat (1) huruf b, c, dan d UU KUP. SKPKB tersebut diterbitkan dengan 3 alasan, yakni wajib pajak tidak menyampaikan SPT sesuai jangka waktu yang ditetapkan dan telah ditegur secara tertulis, hasil pemeriksaan atas PPN dan PPnBM yang seharusnya tidak dikompensasikan atau tidak dikenakan tarif 0%, dan tidak dipenuhinya kewajiban pembukuan dan pemeriksaan.
Atas ketiga jenis pelanggaran tersebut, wajib pajak akan dikenai sanksi kenaikan sebagaimana diatur dalam Pasal 13 ayat (3) UU KUP. Sanksi tersebut antara lain kenaikan sebesar 50% dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam satu tahun pajak, 100% dari PPh yang tidak atau kurang dipotong, dipungut, maupun disetor, dan kenaikan 100% dari PPN dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar.
Kedua, diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) karena ditemukan data baru termasuk data yang semula belum terungkap. Berdasarkan pada Pasal 15 ayat (2) UU KUP, terhadap penerbitan SKPKBT tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak.
Namun demikian, sanksi kenaikan tersebut tidak dikenakan apabila SKPKBT tersebut diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari wajib pajak atas kehendak sendiri. Hal tersebut berlaku sepanjang Dirjen Pajak belum mulai melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT.
Ketiga, dilakukannya pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari wajib pajak kriteria tertentu yang menyebabkan diterbitkannya SKPKB.
Sesuai dengan Pasal 17C ayat (5) UU KUP, terhadap pemeriksaan dan penerbitan SKPKB tersebut dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pembayaran pajak. Dengan kata lain, wajib pajak harus membayar kekurangan pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan 100% dari jumlah kekurangan pembayaran pajak.
Keempat, dilakukannya penelitian atas permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dari wajib pajak yang memenuhi persyaratan tertentu dan menyebabkan diterbitkannya SKPKB. Terhadap penelitian yang menyebabkan diterbitkannya SKPKB dikenakan sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak.(zaka/kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
terimakasih
Terima kasih atas penjelasannya