UU CIPTA KERJA

Ini Poin-Poin Perubahan UU Pajak Penghasilan dalam UU Cipta Kerja

Muhamad Wildan | Senin, 05 Oktober 2020 | 18:41 WIB
Ini Poin-Poin Perubahan UU Pajak Penghasilan dalam UU Cipta Kerja

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (kanan) didampingi Menkumham Yasonna Laoly (kedua kiri) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani (kiri) menerima laporan akhir dari Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi (bawah) saat pembahasan tingkat II RUU Cipta Kerja pada Rapat Paripurna DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (5/10/2020). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/pras.

JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah dan DPR akhirnya melebur RUU Omnibus Law Perpajakan ke dalam RUU Cipta Kerja yang disahkan pada rapat paripurna hari ini, Senin (5/10/2020).

Klausul-klausul RUU Omnibus Law Perpajakan yang mengubah UU Pajak Penghasilan (PPh) dimasukkan ke dalam Bab VI tentang Kemudahan Berusaha dan tertuang pada Pasal 111 RUU Cipta Kerja.

"Beberapa ketentuan dalam UU No. 7/1983 tentang PPh sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir pada UU No. 36/2008 diubah sebagaimana berikut...," bunyi Pasal 111 dari RUU Cipta Kerja, dikutip Senin (5/10/2020).

Baca Juga:
Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Pasal-pasal UU PPh yang diubah tersebut antara lain Pasal 2 mengenai subjek pajak, Pasal 4 tentang objek pajak, dan Pasal 26. Pada Pasal 2, RUU Cipta Kerja merevisi ketentuan Pasal 2 ayat (4) yang mengatur mengenai subjek pajak luar negeri.

Dalam RUU Cipta Kerja, terdapat tambahan jenis subjek pajak luar negeri (SPLN) baru yaitu WNI yang berada di luar negeri lebih dari 183 dalam waktu 1 tahun yang memenuhi persyaratan tempat tinggal, pusat kegiatan utama, tempat menjalankan kebiasaan, status subjek pajak, dan/atau persyaratan tertentu lain yang diatur dalam peraturan menteri keuangan (PMK).

WNI tersebut ditetapkan sebagai SPLN bila menjalankan ataupun usaha atau melakukan kegiatan usaha melalui badan usaha tetap (BUT) di Indonesia serta bila WNI tersebut memperoleh penghasilan dari Indonesia dengan tidak menjalankan usaha ataupun melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia.

Baca Juga:
Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Pada Pasal 4, pemerintah dan DPR bersepakat untuk menambahkan beberapa ayat baru yakni Pasal 4 ayat (1a), (1b), (1c), (1d), serta perincian baru dalam Pasal 4 ayat (3) huruf c mengenai dividen yang dikecualikan dari objek pajak.

Pada Pasal 4 ayat (1a), RUU Cipta Kerja memberikan pengecualian dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) mengenai penghasilan yang menjadi objek pajak terhadap WNA yang telah menjadi subjek pajak dalam negeri (SPDN).

WNA yang menjadi SPDN hanya akan dikenai PPh atas penghasilan yang diterima di Indonesia sepanjang WNA tersebut memenuhi persyaratan keahlian tertentu. Ketentuan ini berlaku selama 4 tahun pajak sejak WNA ditetapkan sebagai SPDN.

Baca Juga:
Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Namun, Pasal 4 ayat (1b) mengatur penghasilan yang diterima oleh WNA sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan di Indonesia dengan nama dan dalam bentuk apapun yang dibayarkan di luar Indonesia sebagai penghasilan yang diterima dari Indonesia.

Ketentuan Pasal 4 ayat (1a) ditetapkan tidak berlaku bagi WNA yang memanfaatkan perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) antara Indonesia dengan negara mitra. Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria keahlian yang berhak mendapatkan perlakuan sesuai dengan Pasal 4 ayat (1a) akan diatur melalui PMK.

Pada Pasal 4 ayat (3) huruf f, dividen yang dikecualikan dari objek pajak antara lain dividen dari dalam negeri yang diterima oleh wajib pajak orang pribadi yang diinvestasikan di wilayah Indonesia dalam jangka waktu tertentu atau yang diterima oleh badan dalam negeri.

Baca Juga:
Jasa Travel Agent Kena PPN Besaran Tertentu, PM Tak Dapat Dikreditkan

Dividen dari luar negeri dan penghasilan setelah pajak dari BUT di luar negeri yang diterima oleh wajib pajak badan dalam negeri atau orang pribadi juga dikecualikan dari objek pajak sepanjang diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kebutuhan bisnis di Indonesia dalam jangka waktu tertentu.

Syarat agar dividen dari luar negeri dikecualikan dari objek pajak antara lain pertama, dividen dan penghasilan setelah pajak yang diinvestasikan paling sedikit harus sebesar 30% dari laba setelah pajak.

Kedua, dividen yang berasal dari badan usaha luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek harus diinvestasikan di Indonesia sebelum Dirjen Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak atas dividen.

Baca Juga:
Catat! Pengkreditan Pajak Masukan yang Ditagih dengan SKP Tak Berubah

Penghasilan dari luar negeri yang tidak melalui BUT juga dikecualikan dari objek pajak apabila diinvestasikan di Indonesia dengan syarat penghasilan tersebut berasal dari usaha aktif di luar negeri dan bukan penghasilan dari perusahaan yang dimiliki di luar negeri.

Bila wajib pajak tidak menginvestasikan penghasilan dari dividen ataupun penghasilan BUT luar negeri setelah pajak dalam jangka waktu tertentu maka dividen dan penghasilan dari BUT luar negeri akan menjadi penghasilan pada tahun pajak. Lalu, pajak atas penghasilan yang telah dibayar di luar negeri merupakan kredit pajak sesuai dengan Pasal 24 UU PPh.

Pada Pasal 26, RUU Cipta Kerja menambahkan satu ayat yakni Pasal 26 ayat (1b). Pasal 26 ayat (1b) menambah ketentuan mengenai PPh Pasal 26 atas bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang pada Pasal 26 ayat (1) huruf.

Pada Pasal 26 ayat (1b), tarif sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang dapat diturunkan melalui peraturan pemerintah (PP). (rig)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

11 Oktober 2020 | 18:15 WIB

ada tambagan lagi untuk objek pajak, yaitu pengolahan batubara

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:30 WIB KPP PRATAMA BENGKULU SATU

Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?