Sejumlah warga mengantre untuk memperbaharui data peserta BPJS di Kantor BPJS Cabang Kendari, Kendari, Sulawesi Tenggara, Senin (4/1/2021). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berpendapat pemungutan iuran yang belum optimal menjadi sebab terus melebarnya defisit dana jaminan sosial (DJS) pada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). (ANTARA FOTO/Jojon/foc)
JAKARTA, DDTCNews - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berpendapat pemungutan iuran yang belum optimal menjadi sebab terus melebarnya defisit dana jaminan sosial (DJS) pada program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Pemungutan iuran yang belum optimal terjadi terutama dari peserta pekerja penerima upah (PPU) dan peserta bukan penerima upah (PBPU). Hingga kini BPJS Kesehatan masih belum memastikan total iuran PPU secara tepat karena BPJS Kesehatan hanya mengandalkan data dari pemberi kerja.
Pada peserta PBPU, ada piutang Rp11,35 triliun per 2019 dengan penyisihan piutang Rp10,4 triliun. "Hal ini menunjukkan peserta PBPU merupakan pembayar iuran dengan kolektibilitas rendah," tulis Pendapat BPK: Pengelolaan atas Penyelenggaraan Program JKN, dikutip Kamis (11/2/2021).
Di sisi lain, segmen PBPU memiliki rasio klaim tertinggi (232,42%) dibandingkan segmen lainnya. Selain itu, BPK berpendapat defisit BPJS pada 2015 hingga 2019 juga disebabkan oleh besaran iuran program JKN yang tidak sepenuhnya sesuai dengan penghitungan aktuaria.
Berdasarkan penghitungan aktuaria, iuran bagi peserta JKN kelas I seharusnya sebesar Rp274,204, bukan sebesar Rp160.000 sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 75/2019.
Selanjutnya, iuran bagi peserta JKN kelas II seharusnya Rp190.639, bukan Rp110.000. Adapun iuran bagi peserta JKN kelas III seharusnya juga lebih tinggi yakni Rp131.195, bukan Rp42.000.
BPK juga berpendapatan aplikasi yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan untuk memitigasi risiko kecurangan (fraud) juga masih masih memiliki beberapa kelemahan.
Algoritma filtasi yang digunakan pada aplikasi BPJS Kesehatan untuk memitigasi fraud masih belum sepenuhnya memadai untuk mencegah tindakan pemecahan tagihan pelayanan kesehatan.
Algoritma ini juga dinilai belum mampu memberikan peringatan kepada verifikator atas penyebab penyakit yang seharusnya tidak ditanggung BPJS Kesehatan.
Terakhir, peran APBD dalam mendanai program JKN di luar peserta PPU pegawai negeri (PN) juga masih belum optimal. Pada 2019, iuran yang ditanggung pemda hanya Rp31,06 triliun. Hanya sebanyak 38,84 juta peserta atau 17% dari peserta program JKN yang iurannya ditanggung pemda.
Apabila dibandingkan dengan iuran yang ditanggung pemerintah pusat lewat PBI, iuran yang dibayar pemda hanya sebesar 23,65% dari iuran yang ditanggung pemerintah pusat lewat APBN.
"Dengan demikian, masih terbuka peluang untuk meningkatkan sumber pendanaan Program JKN dengan optimalisasi sumber dana yang berasal dari APBD," tulis BPK dalam pendapatnya.
Untuk diketahui, defisit DJS terus mengalami peningkatan terhitung sejak 2015 hingga 2019. BPK mencatat defisit DJS meningkat dari Rp9,06 triliun pada 2015 menjadi Rp50,99 triliun pada 2019. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
Update berita mengenai BPJS kesehatan selalu menarik perhatian masyarakat. BPJS selalu defisit anggaran yang membuat masyarakat mempertanyakan hal itu. Tanggung jawab negara dan bagaimana pengelolaan BPJS menjadi pertanyaan yang tiada habisnya. Perlu upaya peningkatan, perkembangan dan reskonstruksi mengenai pengelolaan BPJS. Aplikasi yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan untuk memitigasi risiko kecurangan (fraud) juga perlu terus dikembangkan agar tidak terjadi kesalahan sistem yang bisa merugikan. Kesehatan merupakan komponen penting yang menjadi tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang banyak tentu akan kesulitan untuk mengatasi hal ini. Tapi bukan tidak mungkin optimalisasi akan terwujud dengan metode dan sistem yang kompeten.