EKONOMI DIGITAL

Usulan Pilar Ketiga, Pelengkap Proposal Konsensus Pajak Digital OECD

Redaksi DDTCNews | Jumat, 08 Mei 2020 | 10:00 WIB
Usulan Pilar Ketiga, Pelengkap Proposal Konsensus Pajak Digital OECD

PANDEMI Covid-19 yang melanda banyak negara ternyata tidak melulu merugikan sektor-sektor perekonomian. Ketika banyak bisnis menghadapi kesulitan keuangan, pelaku usaha penyedia layanan digital disinyalir justru berhasil meningkatkan keuntungan perusahaannya secara signifikan.

Terlebih, berbagai belahan dunia pun telah marak menerapkan pembatasan sosial yang memaksa masyarakat untuk tetap terkoneksi secara virtual dengan memanfaatkan produk berbasis digital. Pada akhirnya, terdapat laba berlebih yang dapat dinikmati perusahaan bersangkutan.

Untuk menjamin stabilitas perekonomian internasional akibat potensi defisit yang mungkin terjadi, kelebihan keuntungan tersebut pun diusulkan untuk dipajaki. Tidak tanggung-tanggung, konsep pajak yang dikenal sebagai excess profit tax atau windfall profit tax ini diusulkan untuk dikoordinasikan secara global. Ya, sebagai pelengkap Pilar 1 dan Pilar 2 Proposal OECD atas konsensus pemajakan ekonomi digital.

Baca Juga:
Perkaya Pengetahuan Pajak, Baca 11 e-Books Ini di Perpajakan DDTC

Proposal berupa Pilar 3 ini diajukan oleh Allison Christians dan Tarcísio Diniz Magalhães dalam bentuk pajak Global Excess Profit (GEP). Kedua akademisi dari McGill University tersebut menuangkan hasil pemikiran yang revolusioner dalam tulisan ‘It’s Time for Pillar 3: A Global Excess Profits Tax for COVID-19 and Beyond’.

Pada bagian awal, tulisan ini mengungkapkan bahwa pemajakan atas kelebihan laba sebaiknya tidak diterapkan di tingkat nasional tapi harus melalui suatu koordinasi yang bersifat multilateral. Hal ini dikarenakan rentannya modal dan aset dari perusahaan digital untuk termobilisasi, sedangkan pembatasan berbagai akses ‘nonvirtual’ sudah terjadi di dunia nyata.

Mereka juga menegaskan bahwa pengamatan terhadap fenomena ini harus menggunakan suatu logika ekonomi dari model bisnis digital. Apalagi, pada saat sekarang pun, memajaki laba perusahaan yang berteknologi tinggi dan memiliki aset tidak berwujud yang sangat unik juga sangat sulit untuk dilakukan tanpa adanya kerja sama global.

Baca Juga:
DDTC Gelar Temu Kontributor Buku Gagasan Perpajakan Prabowo-Gibran

Dalam tulisan ini, mereka memberikan contoh penerapan excess profit tax di Amerika Serikat pada masa perang. Pada 1918, negara tersebut menerapkan tarif pajak sebesar 80% apabila terdapat laba dari aset berwujud yang mencapai di atas 8% dari laba keseluruhan. Secara tak langsung, hal ini juga mengilustrasikan bahwa desain pajak GEP yang mereka usulkan dapat dikatakan tidak menimbulkan kerumitan yang berlebihan di kemudian hari.

Terkait implementasinya, mereka menilai bahwa konsensus pajak GEP relatif mudah untuk dicapai karena tujuannya yang mampu mengakomodasi kepentingan semua negara, yaitu untuk mendanai krisis global yang mungkin muncul akibat pandemi. Dengan kata lain, pajak GEP ini sendiri didesain dengan suatu tujuan spesifik atas keadaan darurat yang mungkin melanda seluruh dunia.

Dengan demikian, pajak ini diharapkan mampu menjamin suatu ketertiban sosial atas penyediaan barang publik melalui sistem pajak internasional yang terkoordinasi. Selain itu, pajak GEP tersebut diharapkan pula menjadi ‘bayaran’ yang sepadan atas kemampuan perusahaan penyedia layanan digital untuk menghindari pajak secara agresif.

Baca Juga:
Kurang Kooperatif, Saldo Rekening Penunggak Pajak Dipindahbukukan

Tulisan ini menyajikan suatu gebrakan ide yang sangat baru dengan argumentasi yang ringan tapi tetap berdasar. Bahkan, OECD mengkonfirmasi beberapa kondisi yang menjadi latar belakang tulisan yang diterbitkan Tax Notes International pada 1 Mei 2020 ini dalam diskusi publiknya ‘TaxTalks’ yang disiarkan pada 4 Mei 2020.

Pada akhirnya, tulisan ini pun menjadi bacaan yang sangat menarik bagi para pihak yang menjadi pemerhati pajak digital, termasuk pula bagi para praktisi, peneliti, dan tentunya otoritas pajak.*

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Selasa, 22 Oktober 2024 | 11:45 WIB LITERATUR PAJAK

Perkaya Pengetahuan Pajak, Baca 11 e-Books Ini di Perpajakan DDTC

Senin, 21 Oktober 2024 | 15:30 WIB HUT KE-17 DDTC

DDTC Gelar Temu Kontributor Buku Gagasan Perpajakan Prabowo-Gibran

Senin, 21 Oktober 2024 | 12:30 WIB KPP PRATAMA NATAR

Kurang Kooperatif, Saldo Rekening Penunggak Pajak Dipindahbukukan

Jumat, 18 Oktober 2024 | 15:30 WIB SERBA-SERBI PAJAK

Langganan Platform Streaming Musik, Kena PPN atau Pajak Hiburan?

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN