Putrama Yuhardiman
, Agam, Sumatra BaratPERKEMBANGAN teknologi yang berlanjut membuat huruf ‘e’ semakin populer di ranah perpajakan. Tidak hanya populer, huruf ini juga menambah kharisma pasangannya, hingga menjadi karya lebih bernilai, memastikan wajib pajak mendapat layanan yang berkualitas, mudah, murah, dan cepat.
Melalui KEP-368/PJ/2020, huruf ‘e’ resmi berpasangan dengan bukti potong, ‘e-Bupot 23/26’. Wajib pajak tidak hanya membuat bukti potong secara elektronik, tetapi juga mengirim langsung ke lawan transaksi, membuat ID Billing dan melaporkan SPT masa PPh Pasal 23/26 dalam 1 aplikasi web.
Jelas sudah, mulai masa pajak September 2020, di tengah keterbatasan akibat pandemi Covid-19, informasi yang kian cepat dan mudah tetap dapat dirasakan wajib pajak. Secara tidak langsung, huruf ‘e’ pada e-bupot membantu program pemerintah menjaga jarak selama pandemi.
Salah satu hal baru dalam e-bupot 23/26 ini adalah adanya kewajiban menginformasikan referensi dokumen pemotongan pajak berupa nomor invoice, faktur pajak, kontrak dan lainnya yang menjadi dasar objek pemotongan pajak penghasilan (PPh).
Informasi ini merangkul pemotong pajak dan penerima penghasilan saling menerima/memenuhi hak/kewajibannya dengan cepat, tanpa menunggu proses cetak, pengiriman dan tatap muka pemotong pajak dan penerima penghasilan dalam serah terima dokumen bukti potong pajak.
Ditjen Pajak (DJP) dapat memonitor langsung setiap kejadian secara virtual melalui informasi yang dicantumkan pemotong/pemungut pajak dalam kolom dan baris yang telah ditentukan ini. Namun, DJP seperti melupakan proses selanjutnya. Ibaratnya, sambil menyelam tidak minum air.
Keberatan dan Banding
TANTANGAN DJP sebenarnya adalah menghadapi keberatan dan banding. Tantangan wajib pajak sebagai pemotong/pemungut adalah menghadapi Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan dan Surat Ketetapan Pajak, yang seperti biasa memuat temuan yang telah terpenuhi kewajiban pajaknya.
Bagi pemeriksa pajak, e-bupot ini masih memiliki keterbatasan informasi. Pemeriksa pajak belum mendapatkan informasi internal pemotong/pemungut dalam e-bupot 23/26 ini. Informasi baru yang tersedia hanya informasi dari dokumen eksternal atau lawan transaksi wajib pajak.
Format bukti potong e-bupot tidak menyediakan kolom atau baris kosong yang diperlukan wajib pajak untuk menghubungkan pencatatan akuntansinya seperti buku besar (general ledger) dengan bukti potong PPh 23/26 e-bupot.
Dengan demikian, saat audit, pemeriksa perlu waktu untuk menghubungkan kedua hal tersebut. Berhadapan dengan lingkup usaha wajib pajak yang kompleks, seperti biasa akan terjadi koreksi ganda seperti objek yang sama dalam koreksi PPh potong/pungut pasal yang berbeda.
Mengajukan keberatan/banding untuk situasi ini tentu kurang tepat. Jauh lebih tepat jika ada perbedaan konsep, pemahaman, dan itu untuk mencari keadilan. Namun, jika masih berkutat pada data yang sudah terpenuhi pajaknya, kapan waktunya wajib pajak memikirkan pajak tahun berjalan?
Menerima hasil pemeriksaan pajak yang akurat, tepat sasaran dan tidak dapat dibantah akan menjadi edukasi tersendiri bagi wajib pajak. Sebaliknya, menerima hasil pemeriksaan yang sebenarnya sudah terpenuhi kewajiban perpajakannya akan menghabiskan waktu dan energi wajib pajak dan DJP.
Mungkinkah kita berharap pada DJP, huruf ‘e’ yang populer ini kelak akan menjadi bagian penting reformasi pajak Indonesia? Jika perbaikan berkesinambungan terus dilakukan menuju kesempurnaan demi menjadi instansi terbaik dan berdaya saing di era teknologi informasi, kenapa tidak?
(Disclaimer)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.
wuhuyyyyy❤
Good luck kawan ..
asik kreatif sekali temenku yg satu ini
keren banget . sukses terus iya ady 😊🤙👌
mantap mas..
mantap bro
Kayak artis saja popuper . Tapi memang benar juga ya 😄 mantap pak