Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta meminta kepada Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) DKI Jakarta untuk mengoptimalkan penerimaan daerah melalui sistem online.
Dorongan ini muncul karena realisasi pendapatan daerah pada APBD DKI Jakarta 2019 dinilai masih rendah. Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) DKI Jakarta 2019, pendapatan pajak daerah tercatat senilai Rp40,29 triliun atau 90,4% dari target Rp44,54 triliun.
"Walaupun mendapatkan [opini] wajar tanpa pengecualian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kita mengkritisi memang masih banyak pajak yang belum tercapai," ujar Wakil Ketua Komisi C DPRD DKI Rasyidi HY, dikutip pada Kamis (30/7/2020).
Dalam LKPD DKI Jakarta 2019, masih terdapat beberapa jenis pajak daerah yang belum mencapai target. Realisasi bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) hanya sebesar 60,51% dari target Rp9,5 triliun. Realisasi dari jenis pajak lainnya berkisar di level 95,6% hingga 114% dari target.
"Saya pikir sistem online ke depan akan jauh lebih baik dan menguntungkan kita dan sedikit demi sedikit kebocoran-kebocoran itu akan berkurang. Kita minta itu segera. Ini juga sudah diminta BPK untuk ditindaklanjuti," ujar Rasyidi.
Plt Kepala Bapenda Provinsi DKI Jakarta Edi Sumantri akan mengupayakan peningkatan penerimaan pajak daerah dengan lebih komprehensif. Khusus BPHTB, Edi mengatakan Bapenda DKI Jakarta sudah mengembangkan sistem e-BPHTB pada tahun ini. Sistem dipercaya mampu mencatat setiap laporan nilai transaksi agar BPHTB yang dibayarkan sesuai dengan nilai yang sebenarnya.
"Kita terus kumpulkan data transaksi jual beli baik yang diterbitkan di e-BPHTB kita cocokkan di lapangan. Jika memang ada ketidaksesuaian maka kita akan lakukan pemeriksaan lebih lanjut," kata Edi.
Merujuk pada LKPD DKI Jakarta 2019, terdapat enam kendala yang menyebabkan realisasi BPHTB pada 2019 berada jauh di bawah target. Pertama, Pemprov DKI Jakarta berargumen masih terdapat banyak apartemen yang belum melakukan pemecahan akta.
Kedua, terdapat wajib pajak yang melakukan penghindaran BPHTB melalui transaksi properti menggunakan perjanjian pengikatan jual beli (PPJB), bukan akta jual beli (AJB).
Ketiga, banyak pengembang apartemen yang tidak menyetorkan BPHTB yang telah dipungut dari pembeli saat transaksi menggunakan PPJB. Padahal, BPHTB telah menjadi komponen harga beli unit apartemen tersebut.
Keempat, masih terdapat kecenderungan transaksi menggunakan harga nilai jual objek pajak (NJOP) dan bukan harga transaksi sebenarnya. Kelima, harga properti cenderung meningkat sedangkan daya beli masyarakat cenderung menurun.
Keenam, meroketnya harga properti menyebabkan masyarakat menunda pembelian dan memprioritaskan konsumsinya untuk kebutuhan primer. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.