Para pembicara dalam program Lunch Talk yang disiarkan oleh BeritaSatu, Minggu (31/1/2021). (tangkapan layar Youtube)
JAKARTA, DDTCNews – Tidak ada pengenaan pajak baru atas pulsa dan kartu perdana setelah diterbitkannya PMK 6/2021. Dengan berlakunya beleid tersebut mulai 1 Februari 2021, harga yang harus dibayar konsumen atas pembelian pulsa dan kartu perdana seharusnya tidak naik.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan jauh sebelum PMK 6/2021 diterbitkan, pembelian pulsa oleh masyarakat sudah memuat pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10%.
“Orang kan membayangkan sekarang akan ada PPN 10%. Nah, kita jelaskan tadi PPN sudah ada sebelumnya. Jadi, kalau ada pedagang yang naikin [harga] ya ini enggak masuk akal," ujar Hestu dalam program Lunch Talk yang disiarkan oleh BeritaSatu, Minggu (31/1/2021).
Bila ada beberapa pengecer yang menaikkan harga jual pulsa, dia meyakini akan ada koreksi secara alamiah sesuai dengan mekanisme pasar. DJP, sambungnya, tidak memiliki kewenangan untuk mengatur harga. Namun, DJP akan tetap berkoordinasi dengan asosiasi sambil mengamati perkembangan harga pulsa di masyarakat.
Terbitnya PMK tersebut dimaksudkan untuk menyederhanakan pemungutan PPN atas pulsa, kartu perdana, token listrik, dan voucer. Untuk pulsa dan kartu perdana, pemungutan PPN dilakukan sebatas sampai pada distributor tingkat II (server).
Dengan demikian, distributor tingkat pengecer yang menjual kepada konsumen akhir tidak perlu memungut PPN lagi. Simak artikel ‘Simak, Ini Penjelasan Resmi DJP Soal PMK PPN dan PPh Penjualan Pulsa’ dan ‘Lewat Medsos, Ini Penjelasan Sri Mulyani Soal Pajak Pulsa’.
Pengaturan yang tergolong baru dalam PMK 6/2021 adalah pemungutan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 dengan tarif 0,5% untuk pembelian pulsa dan kartu perdana oleh distributor. Namun, pemungutan PPh Pasal 22 ini diyakini tidak akan memengaruhi harga pulsa karena merupakan pajak yang dipotong dimuka dan tidak bersifat final.
Atas PPh Pasal 22 yang telah dipotong tersebut nantinya dapat dikreditkan oleh distributor pulsa atau agen penjualan token listrik dan voucer dalam SPT Tahunan. Pemungutan PPh Pasal 22 ini diyakini mampu meningkatkan penerimaan pajak sekaligus kepatuhan wajib pajak.
"Ketika menghitung SPT nanti PPh Pasal 22 bisa dikreditkan. Jadi ini mendorong mereka patuh untuk menjalankan kewajiban perpajakannya secara umum,” imbuh Hestu.
Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji berpendapat penyempurnaan mekanisme pemungutan pajak, seperti yang dilakukan melalui PMK 6/2021, berpotensi menutup tax gap baik dari sisi PPN maupun PPh.
"PMK 6/2021 sesungguhnya salah satu bentuk upaya ke sana. Jadi, dengan withholding tax, terus juga kepastian PPN akan dipungut hanya sampai di distributor tingkat kedua. Kalau saya lihat framework secara umum, ini justru sesuatu yang kita dukung," ujarnya.
Dalam konteks saat ini, sambung dia, terbitnya PMK 6/2021 juga menjadi langkah yang tepat. Dengan pemberian berbagai insentif oleh pemerintah, upaya untuk menjaga kesinambungan fiskal tetap harus dilakukan. Salah satunya dengan membuat mekanisme pemungutan pajak lebih efektif.
"Kita perlu pahami dewasa ini pemerintah sudah memberikan berbagai relaksasi dan stimulus kepada masyarakat di tengah pandemi. Namun, tidak boleh kita lupakan kesinambungan fiskal kita secara jangka menengah," imbuh Bawono. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.