JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak akhirnya mempertegas adanya masa daluwarsa penerbitan Surat Tagihan Pajak (STP) dengan merilis Surat Direktur Peraturan Perpajakan I Nomor S-411/PJ.02/2016. Surat ini sekaligus mengakhiri ketidakpastian hukum bagi wajib pajak.
Dalam surat tersebut, Direktur Peraturan Perpajakan I Irawan menyatakan daluwarsa penetapan pajak dimaknai sebagai daluwarsa penerbitan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan STP. STP adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/ atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
“Untuk tahun pajak 2008 dan sesudahnya, STP yang diatur Pasal 19 UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan diterbitkan paling lama 5 tahun sejak SKP kurang bayar, SKP kurang bayar tambahan, dan surat keputusan lainnya, kecuali ada kondisi yang menyebabkan tertangguh,” jelasnya.
Untuk tahun pajak 2007 dan sebelumnya, masih dari surat tersebut, masa daluwarsa penerbitan SPT lebih lama, yaitu 10 tahun. Perbedaan ini menyesuaikan dengan daluwarsa hak penagihan pajak yang diatur sebelum dan sesudah terbitnya UU KUP No. 28 Tahun 2007.
Dalam catatan DDTCNews, Pasal 22 ayat (1) UU KUP memang mengatur daluwarsa hak melakukan penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak. Namun, UU KUP tak menyebut secara eksplisit daluwarsa penerbitan STP—yang harus dibedakan dengan penerbitan SKP.
Dengan sendirinya, penegasan Direktur Peraturan Perpajakan I secara tidak langsung telah mengubah pendapat sebelumnya yang menyatakan STP tidak memiliki masa daluwarsa, sehingga STP dapat dirilis kapan saja, sejak diketahui adanya pelanggaran ketentuan pelaporan atau pembayaran.
Hal itulah yang antara lain menimbulkan tidak adanya kepastian hukum bagi wajib pajak. Dengan adanya surat penegasan tersebut, maka akan terdapat cut-off untuk penerbitan STP. Apabila sudah melampaui 5 tahun, petugas pajak harus menahan diri untuk menerbitkan STP.
Berbagai referensi menyebutkan penegasan masa daluwarsa STP seperti tertera dalam Surat Direktur Peraturan Perpajakan I Nomor S-411/PJ.02/2016 ini sejalan dengan asas hukum litis feniri oportet, yang intinya menyatakan setiap perkara hukum harus ada akhirnya.
Dalam konteks hukum pajak, penerbitan STP sebagai sarana untuk menagih pajak pun harus diatur secara khusus masa daluwarsanya guna menjamin aspek keadilan dan terutama kepastian hukum bagi wajib pajak. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.