Paparan Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) Mekar Satria Utama dalam acara Tax Policy Dialogue bertajuk OECD’s Inclusive Framework Pillar Two: Potential Impact to Indonesian Income Tax Policies, Rabu (23/2/2022).
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah menyebut sudah memiliki landasan hukum untuk mengadopsi pajak korporasi minimum global sebagaimana tertuang dalam Pilar 2 OECD: Global Anti Base Erosion (GloBE).
Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak (DJP) Mekar Satria Utama mengatakan Undang-Undang No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) sudah mengakomodasi adopsi Pilar 2 tersebut.
"Di dalam UU HPP, sudah kami masukkan antisipasi terhadap konsensus global. Dimasukkan pada Pasal 32A UU PPh," katanya dalam Tax Policy Dialogue bertajuk OECD’s Inclusive Framework Pillar Two: Potential Impact to Indonesian Income Tax Policies, Rabu (23/2/2022).
Pada Pasal 32A UU PPh yang belum direvisi melalui UU HPP, pemerintah sebelumnya hanya memiliki kewenangan untuk menyepakati perjanjian penghindaran pajak berganda (P3B) dengan yurisdiksi lain.
Melalui UU HPP, pemerintah memperluas cakupan Pasal 32A UU PPh tersebut. Pemerintah bisa melaksanakan perjanjian dan/atau di bidang perpajakan dengan yurisdiksi mitra, baik secara bilateral maupun multilateral untuk beberapa tujuan tertentu.
"Kami perluas, tidak hanya untuk tax treaty, tetapi juga melaksanakan pertukaran informasi, bantuan penagihan, termasuk mengadakan perjanjian yang berkaitan dengan perkembangan perpajakan internasional saat ini," ujar Mekar.
Dengan demikian, lanjutnya, pemerintah bisa melaksanakan Pilar 2 ketika mulai diimplementasikan pada 2023.
Mekar menambahkan kerangka peraturan atau model rules dari Pilar 2 sudah selesai sejak tahun lalu. Kerangka peraturan tersebut akan menjadi acuan bagi setiap yurisdiksi dalam mengadopsi Pilar 2 pada ketentuan domestiknya masing-masing.
Tahun ini, Indonesia akan menyiapkan PP dan/atau PMK untuk menerapkan income inclusion rule (IIR) dan undertaxed payment rule (UTPR). IIR akan diterapkan pada 2023, sedangkan UTPR baru diimplementasikan pada 2024.
Mekar menjelaskan terdapat dua jenis wajib pajak badan yang bakal terdampak oleh Pilar 2, yaitu perusahaan Indonesia yang memiliki kegiatan usaha di luar negeri dan perusahaan asing yang menjalankan kegiatan usaha di Indonesia.
Atas perusahaan Indonesia yang memiliki aktivitas usaha di luar negeri, Indonesia bisa mengenakan top-up tax sesuai dengan IIR apabila tarif pajak efektifnya di bawah 15%.
Implikasi Pilar 2 terhadap penerimaan pajak berpotensi muncul khususnya atas perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Contoh, potensi kehilangan penerimaan apabila negara lain menghitung tarif pajak efektif Indonesia berada di bawah 15%.
Untuk diketahui, sebanyak 137 yurisdiksi anggota Inclusive Framework menyepakati memberlakukan pajak minimum global dengan tarif 15%. Pajak minimum global akan berlaku atas grup perusahaan multinasional dengan pendapatan di atas EUR750 juta. (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.