Partner of Transfer Pricing Services Romi Irawan (kanan) dan Assistant Manager Transfer Pricing Services Muhammad Putrawal Utama dalam acara ‘Breakfast Meeting: Recent Development on Transfer Pricing for Financial Transactions’ yang digelar DDTC di Hotel JS Luwansa, Jakarta pada hari ini, Selasa (10/3/2020).
JAKARTA, DDTCNews – Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) telah merilis pedoman transfer pricing untuk transaksi keuangan. Pelaku usaha disarankan melakukan penyesuaian atas perkembangan baru tersebut.
Partner of Transfer Pricing Services DDTC Romi Irawan mengatakan pengaturan untuk praktik transfer pricing menjadi perhatian serius OECD. Pasalnya, isu transfer pricing telah menyita banyak perhatian di berbagai negara.
“Dari 15 aksi BEPS, 4 diantaranya terkait dengan transfer pricing dan ini menunjukkan size yang sangat tinggi dari OECD karena jadi isu krusial di mana-mana,” katanya dalam acara ‘Breakfast Meeting: Recent Development on Transfer Pricing for Financial Transactions’ yang digelar DDTC di Hotel JS Luwansa, Jakarta pada hari ini, Selasa (10/3/2020).
Lebih lanjut, Romi menuturkan secara bertahap, OECD telah menerbitkan panduan atau pedoman terkait kegiatan transfer pricing. Pedoman terbaru terkait dengan transaksi keuangan yang fokus kepada transaksi pinjaman intra-grup.
Pembaruan pedoman OECD ini, menurutnya, cepat atau lambat akan diadopsi oleh Ditjen Pajak (DJP) dalam aturan domestik. Oleh karena itu, penting bagi wajib pajak untuk terus mengetahui perkembangan terbaru dari arena perpajakan internasional.
Perubahan cepat dari kebijakan perpajakan internasional sudah terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Dia memberi contoh adanya PMK No.169/2015 yang mengatur penentuan besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan (debt to equity ratio) untuk keperluan penghitungan pajak penghasilan. Kemudian, ada PMK No.213/2016 terkait jenis dokumen dalam TP Doc.
Selain itu, perubahan otoritas dalam menangani praktik transfer pricing juga terlihat pasca dirilisnya SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan. Pemerintah telah menetapkan indikator modus ketidakpatuhan wajib pajak. Salah satu indikator itu adalah perencanaan pajak agresif yang salah satunya memuat risiko transfer pricing. Simak ‘7 Risiko Pemeriksaan Transfer Pricing dalam SE-15/2018’.
Dengan surat edaran tersebut, Romi menyebutkan otoritas lebih condong untuk melihat transaksi transfer pricing secara subtansi. Aspek ini menjadi perhatian utama sebelum petugas pajak menelisik metode dan teknis rumit dalam transfer pricing.
Oleh karena itu, aspek subtansi seperti jenis usaha dan pola tata keuangan perusahaan menjadi penting di mata otoritas. Hal ini harus disikapi wajib pajak dengan cermat agar praktik transfer pricing wajar dan tidak berujung kepada sengketa.
“Faktor subtansi yang menunjukan alokasi laba dilakukan dengan wajar menjadi penting dan relevan sebelum masuk kepada metode lainnya," ungkap Romi.
Sekadar informasi, acara ini dibuka langsung dengan pidato kunci dari Managing Partner DDTC Darussalam. Acara Breakfast Meeting ini diadakan secara gratis oleh DDTC. Ada sekitar 90 peserta yang hadir, baik perwakilan sejumlah perusahaan nasional dan multinasional, perwakilan dari instansi pemerintahan, akademisi, maupun konsultan. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.