KEBIJAKAN PAJAK

Soal Pilar 2, Indonesia Tak Akan Buru-Buru Revisi Insentif Pajak

Muhamad Wildan | Rabu, 02 November 2022 | 10:00 WIB
Soal Pilar 2, Indonesia Tak Akan Buru-Buru Revisi Insentif Pajak

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu. (tangkapan layar Youtube)

JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah tidak akan terburu-buru untuk melakukan revisi skema insentif pajak mengingat belum ada titik terang mengenai implementasi konsensus perpajakan global, baik Pilar 1: Unified Approach maupun Pilar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE).

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Febrio Kacaribu mengatakan banyak negara anggota Inclusive Framework yang beranggapan Pilar 1 dan Pilar 2 ialah satu kesatuan. Artinya, implementasi kedua pilar tersebut tidak dapat dilakukan secara terpisah.

"Ini kan masih akan alot ya. Tahun ini kan enggak berhasil. Pilar 1 dan Pilar 2 oleh banyak negara dilihat bukan sebagai hal yang terpisah. Banyak negara yang melihat implementasinya itu sebaiknya simultan," katanya, dikutip pada Rabu (2/11/2022).

Baca Juga:
Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Dengan demikian, konsensus perpajakan global tersebut belum dapat diimplementasikan jika hanya salah satu pilar saja yang disepakati.

Untuk itu, lanjut Febrio, pemerintah belum akan terburu-buru merevisi skema insentif perpajakan yang saat ini berlaku ataupun mengenakan pajak minimum domestik berdasarkan ketentuan qualified domestik minimum top-up tax (QDMTT) pada Pilar 2.

"Semuanya tidak bisa terburu-buru. Semuanya harus kami siapkan dengan baik. Ini adalah bagian dari koordinasi dan negosiasi. Tentunya kami akan mengedepankan kepentingan domestik," tuturnya.

Baca Juga:
Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Febrio memandang pemerintah sesungguhnya senantiasa mengevaluasi insentif pajak yang berlaku guna menjaga efektivitas dari insentif tersebut.

Untuk diketahui, Pilar 2 akan menjadi dasar pengenaan pajak minimum global dengan tarif sebesar 15%. Pajak minimum akan diberlakukan atas perusahaan multinasional dengan penerimaan di atas €750 juta.

Bila tarif pajak efektif perusahaan multinasional pada suatu yurisdiksi tak mencapai 15% maka top-up tax berhak dikenakan oleh yurisdiksi tempat korporasi multinasional bermarkas. Pengenaan top-up tax dilakukan berdasarkan income inclusion rule (IIR).

Baca Juga:
Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Menurut OECD, insentif pajak yang bakal terdampak signifikan oleh pajak minimum global adalah tax holiday.

Oleh karena itu, insentif-insentif berbasis biaya (expenditure-based tax incentive) seperti tax allowance dan investment allowance perlu lebih banyak diberikan mengingat dampak pajak minimum global terhadap insentif jenis ini masih bisa dibatasi.

Sebagai solusi jangka pendek, OECD meminta setiap yurisdiksi untuk menerapkan pajak minimum domestik atau QDMTT guna menjaga basis penerimaan pajak.

Dengan QDMTT, penghasilan yang kurang dipajaki akibat adanya insentif dapat langsung dipajaki sebelum negara lain mengenakan top-up tax atas penghasilan tersebut. (rig)

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:30 WIB KPP PRATAMA BENGKULU SATU

Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 14:30 WIB KPP PRATAMA BENGKULU SATU

Mobil Rp200 Juta Disita KPP, Bakal Dilelang Kalau Utang Tak Dilunasi

Kamis, 26 Desember 2024 | 14:00 WIB KILAS BALIK 2024

Februari 2024: Wajib Pajak Bereaksi karena Potongan PPh 21 Lebih Besar

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:30 WIB CORETAX SYSTEM

Jelang Coretax Diterapkan, PKP Bakal Perlu Bikin Sertel Baru

Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?