Director of DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji dalam Sapa Indonesia Pagi Kompas TV.
JAKARTA, DDTCNews - Pasal 101 UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (HKPD) telah memberikan ruang bagi pemda memberikan insentif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa hiburan tertentu.
Director of DDTC Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji mengatakan pemda memiliki ruang untuk memberikan insentif PBJT jasa hiburan jika dirasa perlu sesuai dengan karakteristik masing-masing. Pemberian insentif fiskal juga sudah biasa dilakukan oleh pemerintah pusat.
"Kita perlu melihatnya insentif ini sebenarnya akan ada multiplier effect berikutnya. Ketika mereka berkembang, pajaknya akan makin tinggi," katanya dalam program Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Selasa (23/1/2024).
Bawono mengatakan sebelum ada UU HKPD, Indonesia memiliki UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) yang menjadi koridor bagi pemda dalam merumuskan kebijakan pajak daerahnya. Pada UU PDRD, batasan atas tarif pajak hiburan secara umum justru mencapai 35%.
Sementara melalui UU HKPD yang berlaku mulai 5 Januari 2024, tarif PBJT atas jasa kesenian dan hiburan secara umum diberikan relaksasi karena dikenakan tarif maksimal 10%.
Di sisi lain, pada UU PDRD diatur tarif pajak hiburan atas diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa paling tinggi 75%, tanpa ada batas bawah. Namun pada UU HKPD, tarifnya diatur paling rendah 40% dan paling tinggi 75% sehingga kini menjadi polemik karena dianggap memberatkan.
Dia menjelaskan banyak penelitian menunjukkan pajak daerah merupakan jenis pajak yang relatif elastis terhadap pertumbuhan ekonomi. Ketika pertumbuhan ekonomi tinggi, kinerja setoran pajak biasanya juga akan mengikuti.
Dalam konteks jasa hiburan tertentu, dorongan yang diberikan melalui insentif pajak justru berpotensi memberi ruang bagi sektor tersebut berkembang. Pada akhirnya, berkembangnya jasa hiburan tertentu juga dapat berdampak positif terhadap penerimaan pajak daerah.
Bawono memandang pajak tidak terbatas sebagai instrumen untuk mengumpulkan penerimaan, tetapi juga mendorong pertumbuhan ekonomi. Di pemerintah pusat, sudah ada kerangka mengenai belanja perpajakan (tax expenditure) yang laporannya dipublikasikan setiap tahun.
Dalam laporan tersebut, setiap subsidi atau insentif melalui sistem pajak akan disampaikan kepada publik, termasuk kelompok yang menikmati serta potensi penerimaan pajak yang hilang.
"Jadi publik akan tahu seberapa banyak pajak yang hilang atas nama insentif dan dorongan ekonomi. Sepertinya ini yang mungkin perlu juga ditularkan kepada daerah," ujarnya.
Mengenai penerimaan pajak hiburan, kontribusinya terhadap penerimaan pajak daerah secara nasional juga ternyata tidak terlalu besar. Data pada 2016-2019 menunjukkan kontribusi pajak hiburan terhadap total penerimaan pajak daerah rata-rata tidak lebih dari 2%.
Kontribusi pajak hiburan tersebut jauh di bawah jenis pajak lain seperti pajak hotel, pajak restoran, serta pajak mineral bukan logam dan batuan. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.