Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) memastikan data yang diperoleh dari implementasi automatic exchange of information (AEoI) benar-benar diolah. Topik ini menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Senin (22/7/2019).
Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan data yang didapat dari implementasi AEoI sangat banyak karena sejauh ini berasal dari 68 yurisdiksi. Data-data tersebut dikirimkan scara berkala sehingga penyaringan data menjadi fokus otoritas meskipun implementasi AEoI sudah hampir setahun.
“Bukannya tidak kami kerjakan, tapi kami memang setahun ini ekstra hati-hati untuk menyaring dan membersihkan data,” tegasnya.
Langkah tersebut dilakukan untuk memastikan data yang ditindaklanjuti benar-benar akurat. Jika sudah dipastikan akurat, data tersebut akan langsung didistribusikan ke masing-masing Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti wacana pengenaan pajak atas laba ditahan. Otoritas mengatakan hingga saat ini tidak ada agenda lanjutan terkait pembahasan pajak atas laba ditahan, termasuk dalam rancangan revisi paket undang-undang perpajakan.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan daftar yurisdiksi yang akan bertukar informasi keuangan dengan Indonesia akan bertambah tahun ini. Dengan demikian, otoritas perlu sistem untuk memproses data massal secara akurat.
“Bagi kami yang penting adalah bagaimana memprosesnya secara proper dan akurat saja,” imbuhnya.
Otoritas menjelaskan proses pengolahan data AEoI akan melalu dua direktorat yang baru saja dibentuk, yaitu Direktorat Data dan Informasi Perpajakan serta Direktorat Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan wacana pengenaan pajak atas laba ditahan memang pernah menjadi bahan diskusi setahun yang lalu. Namun, diskusi tersebut tidak berlanjut.
“Tidak pernah dibahas lebih lanjut di level pimpinan Kemenkeu,” katanya.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan tantangan penetapan kebijakan terkait pemungutan pajak ekonomi digital mempunyai sejumlah tantangan. Pertama, kesulitan teknis dalam mendesain kebijakan yang mampu memberikan alokasi hak dan pembayaran pajak yang adil.
Kedua, penyusunan aturan yang berkejaran dengan waktu karena sifat bisnis dalam ekonomi digital sarat perubahan. Ketiga, aksi sepihak dari berbagai negara untuk segera mendapatkan bagian pajak dari pesatnya perkembangan ekonomi digital. Keempat, sulitnya mencapai konsensus di tingkat global.
Melalui Perdirjen Pajak No.14/PJ/2019, otoritas mencabut Peraturan Dirjen Pajak Nomor 32/PJ/2010 tentang Pelaksanaan Pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu.
Hestu Yoga Saksama mengatakan pencabutan dilakukan untuk menyederhanakan ketentuan sekaligus memberikan kepastian hukum. Ketentuan dalam Perdirjen tersebut, yang terkait tarif PPh Pasal 25 sebesar 0,75% sudah diatur dalam PMK (Peraturan Menteri Keuangan) No. 215/2018. Sedangkan substansi pengaturan lainnya dalam Perdirjen No. 32/2010 merupakan pengaturan yang sifatnya umum. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.