Ilustrasi gedung Kemenkeu.
JAKARTA, DDTCNews – Alih-alih mengajukan perubahan APBN 2019, pemerintah mengaku akan melakukan penghematan belanja sebagai respons atas loyonya penerimaan pajak hingga akhir Juli. Topik tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Selasa (27/8/2019).
Realisasi pendapatan negara hingga akhir Juli 2019 tercatat senilai Rp1.052,8 triliun atau mencapai 48,6% dari target Rp2.165,1 triliun. Realisasi tersebut sekaligus mencatatkan pertumbuhan 5,9% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Dari nilai pendapatan negara tersebut, realisasi penerimaan pajak tercatat senilai Rp705,59 triliun atau 44,73% dari target Rp1.577,56 triliun. Penerimaan pajak tujuh bulan pertama 2019 tersebut tercatat hanya tumbuh 2,68%.
Di sisi lain, realisasi penyerapan belanja negara sudah mencapai Rp1.236,5 triliun atau 50,2% dari pagu yang dipatok senilai Rp2.461,1 triliun. Realisasi serapan belanja itu tercatat naik 7,9% dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu.
Atas performa tersebut, defisit anggaran tercatat sudah mencapai Rp183,7 triliun atau 62,1% dari patokan dalam APBN 2019 senilai Rp296,0 triliun. Meskipun masih bisa bergerak hingga akhir tahun, performa defisit anggaran itu sudah mencapai 1,14% PDB. Target tahun sebesar 1,84% PDB.
“Kami akan mendorong alokasi belanja yang efektif dan produktif, serta efisiensi di beberapa pos belanja,” ujar Dirjen Anggaran Askolani.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti proyeksi Bank Indonesia (BI) terkait pertumbuhan ekonomi nasional. Ada beberapa sektor yang diperkirakan akan menopang pertumbuhan ekonomi dan pada gilirannya juga berdampak positif bagi penerimaan pajak.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara mengatakan pemerintah akan terus melihat proses pengelolaan anggaran secara keseluruhan agar tetap berjalan optimal. Pasalnya, ada beberapa pos anggaran yang diperkirakan tidak akan 100% diserap.
Sementara, performa penerimaan pajak merupakan cerminan dari situasi ekonomi saat ini. Pasalnya, ada tantangan dari sisi global yang cukup berat. Hal ini berimbas negative pada penerimaan pajak yang berkaitan dengan komoditas dan perdagangan.
“Karena itu, karena global turun, kami mencoba mengoptimalkan pertumbuhan dalam negeri,” ujar Suahasil.
Dirjen Pajak Robert Pakpahan mengatakan performa penerimaan pajak tersebut tidak bisa dilepaskan dari faktor masih tingginya restitusi dan penurunan harga komoditas. Akumulasi dua kondisi ini telah membuat penerimaan pajak masih loyo.
“Efek peningkatan restitusi paling dirasakan oleh PPN dalam negeri,” ujarnya.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji memproyeksi penerimaan pajak tahun ini hanya akan tumbuh 6,5% jika tidak ada terobosan yang berarti. Dengan demikian shortfall bisa melebar hingga mencapai Rp174 triliun. Shortfall Rp140 triliun – sesuai estimasi pemerintah – bisa dijaga asalkan ada terobosan yang dilakukan.
Beberapa terobosan itu antara lain pertama, memperluas basis pajak. Kedua, mengoptimalkan kontribusi sektor-sektor yang selama ini menjadi penyumbang penerimaan. Ketiga, melakukan penegakan hukum pajak melalui pengolahan data dan informasi perpajakan. Keempat, mulai mengurangi belanja perpajakan yang tidak efektif.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan ada beberapa sektor yang akan menjadi sumber pertumbuhan ekonomi ke depan. Pertama, infrastruktur yang mendorong kawasan industri dan kawasan pariwisata.
Kedua, sektor manufaktur, seperti industri otomotif, garmen, alas kaki, makanan dan minuman, elektronika, serta industri hilir di daerah-daerah.Ketiga, sektor pariwisata. Keempat, sektor perikanan. Kelima, sektor keuangan digital. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.