Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) memastikan penggunaan sertifikat elektronik (sertel) berdasarkan PMK 147/2017 masih berlaku. Sampai saat ini, otoritas pajak belum menerbitkan ketentuan teknis mengenai penandatanganan dokumen elektronik dan penggunaan sertel sesuai dengan PMK 63/2021.
Topik tentang sertel menjadi salah satu isu yang paling disorot netizen dalam sepekan terakhir. Guna menandatangani sertifikat elektronik, wajib pajak masih dipersilakan memakai sertel wajib pajak badan.
"Saat ini penandatanganan SPT Unifikasi (e-Bupot Unifikasi) masih dapat menggunakan sertel wajib pajak badan," kata DJP.
DJP menyatakan ketentuan teknis mengenai penggunaan sertel berdasarkan PMK 63/2021 masih belum diterbitkan sehingga wajib pajak masih harus menunggu dan tetap menggunakan sertel wajib pajak badan yang ada saat ini.
Artinya, penggunaan sertel, EFIN, dan kode verifikasi sesuai dengan ketentuan lama masih tetap berlaku sampai dengan adanya sertel dan kode otorisasi DJP di dalam sistem informasi DJP.
Selain itu, DJP memastikan bahwa penerbitan, penandatanganan, dan pengiriman keputusan atau ketetapan berbentuk elektronik yang diproses secara otomatis melalui laman DJP dengan menggunakan tanda tangan elektronik tidak tersertifikasi masih dapat dilakukan.
Pengumuman lengkap DJP mengenai pembahasan tersebut, baca 'Pengumuman Terbaru Ditjen Pajak Soal Sertel, EFIN, dan Kode Verifikasi'.
Selain soal sertel, topik tentang pajak atas natura dan/atau kenikmatan juga ramai dibahas publik. Kini, wajib pajak punya kewajiban menghitung dan membayar sendiri PPh yang terutang atas natura atau kenikmatan yang diterima sepanjang tahun pajak 2022. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022.
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan walau PP 55/2022 baru terbit pada akhir 2022, UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) menyatakan ketentuan PPh dalam undang-undang tersebut berlaku sejak tahun pajak 2022. Artinya, ketentuan soal natura sejatinya sudah berlaku sejak tahun lalu.
"Treatment untuk natura sebagai biaya bagi pemberi dan penghasilan bagi penerima telah diatur dalam UU HPP dan berlaku mulai tahun tahun pajak 2022," ujar Suryo.
Bila wajib pajak menerima natura atau kenikmatan pada tahun pajak 2022, penghasilan nontunai tersebut harus dihitung sendiri oleh wajib pajak dan dibayar oleh wajib pajak paling lambat saat jatuh tempo penyampaian SPT Tahunan 2022, yakni 31 Maret 2023.
Suryo menerangkan ketentuan soal natura dan kenikmatan dalam PP 55/2022 lebih banyak mengatur tentang tata cara pemotongan PPh atas natura dan kenikmatan tersebut.
Nantinya, masih akan ada peraturan menteri keuangan (PMK) yang diterbitkan untuk memerinci mekanisme pemotongan pajak atas natura oleh pemberi kerja. Pemotongan pajak baru dilakukan pada tahun ini.
Baca artikel lengkapnya, 'Karyawan Wajib Bayar Pajak Natura Saat Lapor SPT 2022, Begini Kata DJP'.
Selanjutnya, selain kedua topik di atas, masih ada sejumlah isu perpajakan lain yang juga berhasil menarik perhatian netizen belakangan ini. Di antaranya, terbitnya Perpu Cipta Kerja, polemik mengenai 'gaji Rp5 juta kena pajak 5%', hingga ketentuan soal PPh final UMKM.
Beriku adalah ulasan lengkapnya.
1. Perpu Cipta Kerja Terbit, Ini Dampaknya Terhadap Ketentuan Pajak
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) 2/2022 tentang Cipta Kerja turut berdampak terhadap ketentuan perpajakan.
Merujuk pada Pasal 111, Pasal 112, dan Pasal 113 Perpu Cipta Kerja yang masing-masing merevisi UU PPh, UU PPN, dan UU KUP, tampak bahwa pasal-pasal yang sudah direvisi melalui UU 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tidak direvisi lagi melalui Perpu Cipta Kerja.
"[Perppu 2/2022 sudah] sinkronisasi dan harmonisasi dengan UU 7/2021 tentang HPP dan UU 1/2022 tentang HKPD," ujar Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
2. Soal Gaji Rp5 Juta Kena Pajak 5%, Begini Keterangan Resmi DJP
Publik tengah ramai memperbincangkan mengenai pengenaan pajak 5% atas gaji Rp5 juta. Terkait dengan hal ini, DJP menyampaikan keterangan resmi.
Dalam Siaran Pers No. SP-1/2023, DJP mengatakan sejak diterbitkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), aturan mengenai lapisan tarif PPh orang pribadi disesuaikan agar lebih adil dengan berpihak kepada kelompok masyarakat kecil dan menengah.
“Lapisan tarif PPh yang berlaku saat ini menggantikan lapisan tarif yang sudah berlaku sejak Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang PPh,” tulis DJP dalam siaran pers tersebut.
Bagaimana perhitungan pajak terhadap 'gaji Rp5 juta'? Simak artikel lengkapnya dengan mengeklik tautan pada judul di atas.
3. WP Orang Pribadi UMKM Masih Bisa Pakai PPh Final 0,5% Hingga 2024
Wajib pajak orang pribadi UMKM yang memanfaatkan skema PPh final UMKM sejak 2018 masih memiliki kesempatan untuk menunaikan kewajiban pajaknya menggunakan skema tersebut hingga tahun pajak 2024.
Sesuai dengan Pasal 59 ayat (1) PP 55/2022, wajib pajak orang pribadi UMKM dapat memanfaatkan skema PPh final selama maksimal 7 tahun pajak. Bila wajib pajak orang pribadi terdaftar sejak sebelum berlakunya PP 23/2018, PPh final UMKM dapat dimanfaatkan sampai dengan berakhirnya jangka waktu yang dimaksud pada Pasal 5 PP 23/2018.
"Walaupun dengan adanya PP ini [PP 55/2022], jangka waktu tertentu pengenaan PPh final tetap meneruskan jangka waktu berdasarkan PP 23/2018 atau tidak diulang dari awal," tulis DJP dalam keterangan resminya.
4. DJP Bakal Uji Kepatuhan 5 Tahun ke Belakang dan Awasi Pembayaran Masa
DJP akan melakukan uji kepatuhan terhadap wajib pajak sebagai bagian dari upaya untuk mencapai target penerimaan pajak pada tahun ini.
Suryo Utomo mengatakan uji kepatuhan terhadap wajib pajak akan dilakukan dengan menggunakan data dan informasi yang selama ini dikumpulkan oleh otoritas. Prioritas uji kepatuhan dilakukan untuk tahun pajak 5 tahun ke belakang.
“Kami melakukan uji kepatuhan terhadap wajib pajak, khususnya terkait dengan tahun pajak-tahun pajak 5 tahun ke belakang sebelum daluwarsa penetapan yang dilakukan,” ujar Suryo.
5. NSFP Sisa Tahun Lalu Perlu Dihapus di e-Faktur, Ternyata Ini Alasannya
DJP kembali mengingatkan wajib pajak tentang penggunaan nomor seri faktur pajak (NSFP). Atas NSFP tahun pajak 2022 lalu yang tidak terpakai, DJP menyebutkan, pengusaha kena pajak (PKP) tidak perlu mengembalikannya ke KPP.
Namun, PKP tetap perlu menghapus NSFP yang tidak terpakai pada menu referensi nomor faktur pada aplikasi e-Faktur Desktop.
"Pengembalian NSFP sudah tidak diatur lagi, sehingga atas NSFP tidak terpakai silakan dihapus melalui aplikasi e-Faktur Desktop saja," cuit DJP melalui akun @kring_pajak di Twitter. (sap)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.