RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum tentang penentuan luas tanah milik wajib pajak yang dapat dikenakan pajak bumi dan bangunan (PBB).
Wajib pajak menyatakan mulanya tanah yang dimilikinya seluas 29.685 m2. Namun, tanah dalam sertifikat hak guna bangunan (HGB) No. 342 yang digunakan untuk kegiatan usaha hanya seluas 25.300 m2 saja.
Sisanya, tanah seluas 4.385 m2 dibangun fasilitas umum berupa jalan raya yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Menurut wajib pajak, tanah yang digunakan untuk kepentingan umum seharusnya dibebaskan dari pemungutan PBB.
Sebaliknya, otoritas pajak menilai tanah wajib pajak seluas 4.385 m2 tidak dapat dibebaskan dari PBB. Sebab, saat sengketa ini berlangsung, tanah tersebut masih dikuasai secara penuh oleh wajib pajak dan belum berfungsi sebagai jalan raya yang digunakan untuk kepentingan umum.
Dengan demikian, penerbitan surat pemberitahuan pajak terutang (SPPT) PBB tahun pajak 2012 atas tanah seluas 29.685 m2 yang dilakukan otoritas pajak sudah benar.
Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan oleh otoritas pajak.
Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau di sini.
Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Majelis Hakim Pengadilan Pajak menyatakan secara keseluruhan luas tanah yang dikuasasi wajib pajak ialah 29.685 m2.
Namun, dalam sertifikat HGB No. 342, tanah yang digunakan untuk menjalankan kegiatan usaha wajib pajak tercatat seluas 25.300 m2. Artinya, terdapat selisih luas tanah 4.385 m2 yang tidak digunakan wajib pajak untuk kepentingan usahanya.
Berdasarkan penelitian, selisih luas tanah 4.385 m2 dibangun fasilitas umum berupa jalan raya. Pembangunan jalan raya ini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Adapun jalan raya tersebut tidak hanya dimanfaatkan oleh wajib pajak saja, tetapi juga untuk masyarakat secara umum.
Merujuk pada Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 s.t.d.d. Undang-Undang No. 12 Tahun 1994 (UU PBB), tanah yang digunakan untuk kepentingan umum dan tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan dibebaskan dari pemungutan PBB. Dengan demikian, SPPT PBB yang dikeluarkan otoritas pajak atas tanah seluas 29.685 m2 tidak dapat dipertahankan.
Atas permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan sebagian permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 49708/PP/M.VI/18/2013 tertanggal 20 Desember 2013, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 1 April 2014.
Pokok sengketa dalam perkara a quo adalah penetapan atas luas bumi tahun pajak pada objek PBB dengan nomor objek pajak (NOP) 31.74.031.002.013-0004.0 yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Sebagaimana dipahami sebelumnya, dalam perkara ini, Termohon PK menguasasi tanah seluas 29.685 m2. Namun, dalam sertifikat HGB No. 342, tanah yang digunakan untuk menjalankan kegiatan usaha Termohon PK hanya seluas 25.300 m2.
Berdasarkan penelitian, dapat diketahui tanah Termohon PK seluas 4.385 m2 akan dibangun fasilitas umum jalan raya oleh pemerintah daerah. Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) UU PBB, objek pajak yang tidak dikenakan PBB adalah objek pajak yang digunakan untuk kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
Selanjutnya, sesuai dengan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-57/PJ.6/1994, untuk menentukan tanah tersebut dibebaskan dari PBB maka perlu dilakukan penelitian untuk membuktikan dua hal. Pertama, perlu dibuktikan tanah tersebut secara de facto telah digunakan sebagai fasilitas umum. Kedua, tanah tersebut memang digunakan untuk kepentingan umum atau sosial dan tidak untuk mencari keuntungan.
Dalam konteks ini, Pemohon PK menilai tanah milik Termohon PK seluas 4.385 m2 tidak dapat dibebaskan dari PBB. Hal ini dikarenakan saat sengketa ini berlangsung, tanah tersebut masih dikuasai secara penuh oleh Termohon PK dan juga belum berfungsi sebagai jalan raya yang dapat digunakan masyarakat umum. Selain itu, tidak semua kendaraan dapat dengan bebas memasuki area jalanan tersebut.
Pemohon PK menyimpulkan wajib pajak masih memanfaatkan tanah seluas 4.385 m2 untuk memperoleh keuntungan. Dengan demikian, Pemohon PK menerbitkan SPPT PBB tahun pajak 2012 atas tanah yang dimiliki Termohon PK seluas 29.685 m2. Penetapan yang dikeluarkan Pemohon PK telah sesuai dengan fakta dan peraturan perpajakan sehingga harus dipertahankan.
Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan penetapan Pemohon PK. Dalam perkara ini, mulanya Termohon PK menguasasi tanah seluas 29.685 m2. Namun, tanah yang tercantum dalam sertifikat HGB No. 342 untuk digunakan menjalankan kegiatan usaha hanya seluas 25.300 m2. Kemudian sisanya seluas 4.385 m2 akan dibangun fasilitas umum berupa jalan raya yang menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.
Menurut Termohon PK, tanah yang digunakan untuk kepentingan umum seharusnya dibebaskan dari pemungutan PBB. Tanah milik Termohon PK yang dapat dikenakan PBB hanya seluas 25.300 m2. Oleh karena itu, Termohon PK menilai penetapan yang dikeluarkan Pemohon PK tidak berdasar sehingga harus dibatalkan.
Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding sudah tepat. Terdapat dua pertimbangan Mahkamah Agung salam memutus sengketa sebagai berikut.
Pertama, penetapan atas luas tanah Termohon PK yang dapat dikenakan PBB untuk tahun pajak 2021 tidak dapat dibenarkan. Setelah meneliti atau menguji kembali dalil-dalil para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan dalil-dalil dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta Majelis Hakim Pengadilan Pajak.
Kedua, dalam perkara a quo, tanah Termohon PK yang dapat dikenakan PBB hanya seluas 25.300 m2. Sementara itu, sisa tanah dengan luas 4.385 m2 dibebaskan dari PBB oleh karena digunakan untuk pembangunan fasilitas umum berupa jalan raya. Oleh karena itu, Mahkamah Agung menganggap koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak sesuai dengan fakta dan ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. *
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.