RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa Pembayaran Jasa Konsultasi yang Tidak Dipotong PPh Pasal 23

Hamida Amri Safarina | Rabu, 24 Februari 2021 | 16:00 WIB
Sengketa Pembayaran Jasa Konsultasi yang Tidak Dipotong PPh Pasal 23

RESUME Putusan Peninjauan Kembali (PK) ini merangkum tentang pembayaran jasa konsultasi yang tidak dipotong PPh Pasal 23. Wajib pajak adalah perseroan terbatas yang bergerak di bidang pertambangan nikel. Untuk menjalankan usaha pertambangan tersebut, wajib pajak memperoleh jasa konsultasi dari pihak X Co yang berkedudukan di Kanada.

Wajib pajak menyatakan X Co belum memenuhi persyaratan untuk dapat ditetapkan sebagai benntuk usaha tetap (BUT) di Indonesia. Karyawan X Co yang bekerja di Indonesia hanya sebagai perwakilan.

Selain itu, X Co juga tidak memiliki kantor perwakilan di Indonesia untuk menjalankan bisnisnya. Oleh karena itu, wajib pajak tidak berkewajiban untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan jasa konsultasi yang diterima X Co

Baca Juga:
Tren Berkas Sengketa Menurut Terbanding/Tergugat di Pengadilan Pajak

Sebaliknya, otoritas pajak menyatakan karyawan X Co yang bekerja di Indonesia telah melebihi batas waktu (time test) yang ditetapkan. Dengan demikian, otoritas pajak menilai kegiatan yang dilakukan X Co di Indonesia memenuhi persyaratan sebagai BUT.

Otoritas pajak menetapkan X Co secara jabatan sebagai BUT pada 27 April 2020. Dengan ditetapkannya X Co sebagai BUT maka penghasilan atas jasa konsultasi yang diterimanya harus dipotong PPh Pasal 23 oleh wajib pajak.

Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Selanjutnya, di tingkat PK, Mahkamah Agung menolak permohonan PK yang diajukan otoritas pajak.

Baca Juga:
Sengketa atas Pengajuan Pengurangan Sanksi Bunga

Apabila tertarik membaca putusan ini lebih lengkap, kunjungi laman Direktori Putusan Mahkamah Agung atau di sini.

Kronologi
WAJIB pajak mengajukan banding ke Pengadilan Pajak atas keberatannya terhadap penetapan otoritas pajak. Dalam hal ini, Majelis Hakim Pengadilan Pajak berpendapat koreksi yang dilakukan otoritas pajak tidak benar. Menurut Majelis Hakim Pengadilan Pajak, X Co belum memenuhi syarat untuk ditetapkan sebagai BUT.

Selain itu, surat ketetapan pajak kurang bayar (SKPKB) yang dikeluarkan otoritas pajak kepada wajib pajak terbit sebelum adanya penetapan X Co sebagai BUT. Adapun SKPKB keluar pada 26 Maret 2010, sedangkan penetapan X Co menjadi BUT dilakukan pada 27 April 2010. Dengan demikian, wajib pajak tidak memiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan jasa konsultasi yang diterima X Co.

Baca Juga:
Perusahaan Baru Berdiri Merugi, Bebas Pemotongan PPh?

Atas permohonan banding tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Pajak memutuskan mengabulkan seluruhnya permohonan banding yang diajukan wajib pajak. Dengan keluarnya Putusan Pengadilan Pajak Nomor Put. 46377/PP/M.II/12/2013 tertanggal 23 Juli 2013, otoritas pajak mengajukan upaya hukum PK secara tertulis ke Kepaniteraan Pengadilan Pajak pada 31 Oktober 2013.

Pokok sengketa dalam perkara a quo adalah koreksi dasar pengenaan pajak (DPP) PPh Pasal 23 masa pajak April 2008 senilai Rp14.864.955.910 yang tidak dipertahankan Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Pendapat Pihak yang Bersengketa
PEMOHON PK menyatakan keberatan atas pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak. Pemohon PK melakukan koreksi karena terdapat pambayaran jasa konsultasi dari Indonesia kepada X Co yang tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23.

Baca Juga:
Pencantuman NITKU Bakal Bersifat Mandatory saat Pembuatan Bukti Potong

Perlu dipahami, Termohon PK adalah perseroan terbatas yang bergerak di bidang pertambangan nikel yang terikat kontrak kerja dengan Pemerintah Indonesia. Adapun lokasi pertambangan Termohon PK berada di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.

Untuk melaksanakan usaha pertambangan tersebut, Termohon PK memperoleh jasa konsultasi dari pihak X Co yang berkedudukan di Kanada. Berdasarkan laporan tahunan Termohon PK, Pemohon PK menemukan fakta X Co memiliki hubungan istimewa dengan Termohon PK.

Mempertimbangkan temuan tersebut, Pemohon PK melakukan pengujian apakah X Co sudah memenuhi syarat menjadi BUT atau tidak. Berdasarkan proses pemeriksaan, Pemohon PK menyimpulkan perwakilan dari X Co telah bekerja di Indonesia untuk memberikan jasa konsultasi kepada Termohon PK melebihi batas waktu (time test) yang ditetapkan. Dengan kata lain, X Co melakukan kegiatan usaha secara penuh di Indonesia.

Baca Juga:
Optimalisasi Penerimaan Pajak Tak Boleh Sebabkan Peningkatan Sengketa

Selanjutnya, Pemohon PK menilai kegiatan yang dilakukan X Co di Indonesia memenuhi persyaratan sebagai BUT. Oleh karena itu, Pemohon PK menetapkan X Co secara jabatan sebagai BUT di Indonesia pada 27 April 2020. Dengan ditetapkannya X Co sebagai BUT di Indonesia maka penghasilan atas jasa konsultasi yang diterimanya harus dipotong PPh Pasal 23 oleh Termohon PK.

Termohon PK menyatakan tidak setuju dengan koreksi yang dilakukan Pemohon PK. Menurut Termohon PK, persyaratan subjektif X Co untuk dapat ditetapkan sebagai BUT di Indonesia belum terpenuhi.

Jasa konsultasi yang diberikan X Co kepada Termohon PK sebagian dikerjakan di Kanada dan sebagian lain dikerjakan di Indonesia. Karyawan X Co yang bekerja di Indonesia hanya sebagai perwakilan.

Baca Juga:
Jasa Event Organizer Kena PPh Pasal 23, Begini Ketentuannya

Selain itu, X Co juga tidak memiliki kantor di Indonesia untuk menjalankan bisnisnya. Oleh karena itu, Termohon PK tidak berkewajiban untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan jasa konsultasi yang diterima X Co. Koreksi yang dilakukan Pemohon PK dinilai tidak berdasar sehingga harus ditolak.

Pertimbangan Mahkamah Agung
MAHKAMAH Agung berpendapat alasan-alasan permohonan PK tidak dapat dibenarkan. Putusan Pengadilan Pajak yang menyatakan mengabulkan seluruhnya permohonan banding sudah tepat. Terdapat dua pertimbangan hukum Mahkamah Agung sebagai berikut.

Pertama, koreksi DPP PPh Pasal 23 masa pajak April 2008 senilai Rp14.864.955.910 tidak dapat dibenarkan. Setelah meneliti dan menguji kembali dalil-dalil para pihak, pendapat Pemohon PK tidak dapat menggugurkan fakta-fakta dan melemahkan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan serta pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Pajak.

Baca Juga:
Sengketa PPh Orang Pribadi Pasca Mendapat Hibah Properti

Kedua, dalam perkara a quo, X Co belum memenuhi persyaratan sebagai BUT. Termohon PK tidak memiliki kewajiban untuk melakukan pemotongan PPh Pasal 23 atas penghasilan jasa konsultasi yang diterima X Co. Koreksi yang dilakukan Pemohon PK tidak berdasar sehingga tidak dapat dipertahankan.

Berdasarkan pertimbangan di atas, permohonan PK dinilai tidak beralasan sehingga harus ditolak. Dengan demikian, Pemohon PK dinyatakan sebagai pihak yang kalah dan dihukum untuk membayar biaya perkara. (kaw)

(Disclaimer)
Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Senin, 21 Oktober 2024 | 15:30 WIB HUT KE-17 DDTC

DDTC Gelar Temu Kontributor Buku Gagasan Perpajakan Prabowo-Gibran

Sabtu, 19 Oktober 2024 | 11:01 WIB INFOGRAFIS PAJAK

Tren Berkas Sengketa Menurut Terbanding/Tergugat di Pengadilan Pajak

Jumat, 18 Oktober 2024 | 20:30 WIB RESUME PUTUSAN PENINJAUAN KEMBALI

Sengketa atas Pengajuan Pengurangan Sanksi Bunga

Jumat, 18 Oktober 2024 | 17:00 WIB KONSULTASI PAJAK

Perusahaan Baru Berdiri Merugi, Bebas Pemotongan PPh?

BERITA PILIHAN
Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:45 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

Sah! Misbakhun Terpilih Jadi Ketua Komisi XI DPR 2024-2029

Selasa, 22 Oktober 2024 | 21:00 WIB KEBIJAKAN PAJAK

PPN Mestinya Naik Tahun Depan, Gerindra akan Bahas Bareng Kemenkeu

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:30 WIB KPP PRATAMA JAMBI TELANAIPURA

WP Gagal Daftar LPSE karena KSWP Tidak Valid, Gara-Gara Tak Lapor SPT

Selasa, 22 Oktober 2024 | 17:06 WIB LEMBAGA LEGISLATIF

DPR Tetapkan Daftar Mitra Kerja untuk Komisi XII dan Komisi XIII

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:41 WIB IHPS I/2024

BPK Selamatkan Keuangan Negara Rp13,66 Triliun pada Semester I/2024

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:30 WIB KANWIL DJP JAWA TIMUR II

Pakai Faktur Pajak Fiktif, Dirut Perusahaan Akhirnya Ditahan Kejari

Selasa, 22 Oktober 2024 | 16:00 WIB TIPS PAJAK DAERAH

Cara Daftarkan Objek Pajak Alat Berat di DKI Jakarta secara Online

Selasa, 22 Oktober 2024 | 15:30 WIB AUSTRALIA

Bikin Orang Enggan Beli Rumah, Australia Bakal Hapus BPHTB

Selasa, 22 Oktober 2024 | 14:00 WIB KP2KP SIDRAP

Ubah Kata Sandi Akun Coretax, Fiskus: Tak Perlu Cantumkan EFIN