Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Setidaknya ada kelompok 8 wajib pajak yang tidak akan mendapat sanksi administrasi berupa denda jika terlambat melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT). Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Selasa (19/1/2021).
Berdasarkan pada Pasal 7 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), penyampaian SPT yang terlambat akan dikenai sanksi administrasi berupa denda. Pengenaan sanksi tersebut untuk kepentingan tertib administrasi perpajakan.
“Dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi kewajiban menyampaikan SPT,” demikian penggalan bunyi penjelasan pasal 7 ayat (2) UU KUP.
Namun, pengenaan sanksi administrasi berupa denda tidak akan dilakukan terhadap 8 kelompok wajib pajak. Pertama, wajib pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia. Kedua, wajib pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Ketiga, wajib pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang tidak tinggal lagi di Indonesia. Keempat, bentuk usaha tetap (BUT) yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia. Kelima, wajib pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai ketentuan yang berlaku.
Keenam, bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi. Ketujuh, wajib pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya di atur dengan peraturan menteri keuangan. Kedelapan, wajib pajak lain yang diatur dengan atau berdasarkan peraturan menteri keuangan.
Selain mengenai pengenaan sanksi administrasi berupa denda dalam pelaporan SPT, ada pula bahasan tentang gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) pada masa awal pandemi Covid-19 yang turut berdampak pada penerimaan pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 pada 2020.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Sesuai ketentuan, batas akhir penyampaian SPT masa paling lama 20 hari setelah akhir masa pajak. Untuk SPT tahunan wajib pajak orang pribadi, paling lama 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak. Sementara, untuk SPT tahunan wajib pajak badan paling lama 4 bulan setelah berakhirnya tahun pajak.
Untuk SPT tahunan PPh orang pribadi, denda dipatok senilai Rp100.000. Untuk SPT tahunan PPh badan dipatok Rp1 juta. Selebihnya, ada SPT masa pajak pertambahan nilai (PPN) dan SPT masa lainnya yang masing-masing memuat denda Rp500.000 dan Rp100.000 jika terlambat disampaikan. (DDTCNews)
Hingga 31 Desember 2020, total SPT tahunan yang diterima Ditjen Pajak (DJP) mencapai 14,76 juta. Dengan total wajib pajak wajib SPT mencapai 19 juta maka rasio kepatuhan formal pada 2020 mencapai 78%, lebih tinggi dari capaian tahun sebelumnya 72,9%.
"Pascamengadopsi serangkaian teknologi teleworking, tingkat kepatuhan pada 2020 ternyata tidak terimbas negatif. Bahkan, rasio kepatuhan tahun 2020 justru mengalami peningkatan," tulis Kementerian Keuangan pada laporan APBN Kita edisi Januari 2020. (DDTCNews)
Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, pembayaran PPh Pasal 21 yang timbul akibat pembayaran pesangon, pensiun, dan jaminan hari tua cenderung meningkat pada Juni hingga Agustus tahun lalu.
"Meningkatnya jenis setoran PPh Pasal 21 atas pesangon, pensiun, dan tunjangan/jaminan hari tua mengindikasikan peningkatan PHK,” tulis Kementerian Keuangan pada laporan APBN Kita edisi Januari 2021.
Pembayaran PPh Pasal 21 atas pesangon, pensiun, dan jaminan hari tua tumbuh hingga hampir 25% pada kuartal III/2020. Meski demikian, pembayaran tercatat mulai turun pada kuartal IV/2020. Pada kuartal terakhir 2020, pembayaran tumbuh sekitar 15%. Simak artikel ‘Kenaikan PHK Pengaruhi Penerimaan PPh Pasal 21, Ini Data Kemenkeu’. (DDTCNews)
Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ajib Hamdani mengatakan untuk bisa menarik potensi penerimaan PPh orang pribadi, Ditjen Pajak (DJP) harus mengandalkan tindak lanjut atas data dan fakta yang tersebar di ruang publik.
Dia juga mengusulkan agar otoritas pajak membentuk satuan tugas khusus untuk menggali potensi penerimaan pajak dari orang kaya. Selain itu, Ajib juga menyarankan agar DJP mengimplementasikan skema reward and punishment.
“Harus jelas regulasinya dan valid datanya sehingga tidak menyasar wajib pajak yang salah dan menjunjung semangat equality. Jangan tebang pilih,” katanya. (Bisnis Indonesia)
DPR mengusulkan semua pegawai honorer yang ditetapkan hingga 15 Januari 2014 bisa langsung diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) melalui revisi UU Aparatur Sipil Negara (ASN).
Anggota Komisi II DPR RI Syamsurizal mengatakan penetapan tenaga honorer mirip skema perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) pada karyawan di perusahaan swasta. Oleh karena itu, masa kerjanya paling lama hanya 3 tahun untuk kemudian harus diangkat sebagai tetap, yang dalam hal ini menjadi PNS. Simak artikel ‘DPR Usul Pegawai Honorer Langsung Jadi PNS, Ini Respons Tjahjo Kumolo’. (DDTCNews) (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.