Ilustrasi gedung DJP.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) mengintensifkan upaya ekstra (extra effort) untuk menjaga agar estimasi shortfall – selisih kurang antara realisasi dan target – tidak melebar. Langkah otoritas tersebut menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Rabu (9/10/2019).
Seperti diberitakan sebelumnya, realisasi penerimaan pajak hingga 7 Oktober 2019 tercatat senilai Rp912 triliun atau 57,8% dari target APBN Rp1.577,56 triliun. Jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, realisasi tersebut mengalami kontraksi 0,31%.
Berpijak pada kinerja penerimaan yang masih loyo tersebut, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengungkapkan otoritas tengah berupaya meningkatkan kepatuhan wajib pajak (WP) agar estimasi shortfall penerimaan pajak tidak melebar.
“Saat ini upaya-upaya extra effort sedang diintensifkan,” ujarnya.
Beberapa upaya dilakukan dengan mengoptimalkan 3 instrumen. Pertama, task force yang bertugas menganalisis dan memastikan pelaksanaan optimalisasi data. Kedua, pertukaran data dan informasi rekening wajib pajak dengan sejumlah yurisdiksi. Ketiga, compliance risk management (CRM).
Dalam outlook yang disampaikan pemerintah ke DPR pertengahan tahun ini, shortfall penerimaan pajak diperkirakan mencapai Rp140 triliun. Dalam perkembangan terakhir, ada kabar yang menyatakan shortfall berisiko melebar hingga lebih dari Rp200 triliun.
Selain itu, beberapa media nasional juga masih menyoroti topik akan berakhirnya holding period dana repatriasi dalam kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty). Kementerian Keuangan optimistis dana repatriasi tidak akan lari lagi ke luar negeri.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan berbagai upaya ekstra yang dilakukan otoritas dengan memanfaatkan 3 instrumen tersebut tetap akan dipengaruhi oleh situasi perekonomian. Otoritas tidak bisa berharap banyak.
“Kami memahami kondisi ekonomi dan bisnis yang saat ini kurang baik. Kami laksanakan saja dulu. Semoga hasilnya baik,” ujarnya.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji berpendapat tren pelemahan penerimaan pajak tersebut sebenarnya dapat menjadi pelajaran bagi otoritas dalam upaya untuk mencapai target penerimaan pada masa depan.
Salah satu langkah yang bisa diambil adalah memperkuat struktur penerimaan agar tidak rentan goncangan dari sektor tertentu. Menurutnya, struktur pajak saat ini sangat rentan dan mudah dipengaruhi oleh ketidakpastian ekonomi global.
“Risiko shortfall penerimaan di tahun ini sepertinya akan melebar. Tekanan ekonomi terutama bagi dua sektor utama penerimaan yaitu pertambangan dan industri pengolahan, serta konsumsi masyarakat jelas sangat memukul penerimaan di 2019 ini,” paparnya.
Pemerintah, sambungnya, perlu memperkuat struktur penerimaan pajak yang tidak rentan. Salah satunya dengan meningkatkan kontribusi PPh orang pribadi serta menggali potensi pajak di sektor-sektor yang memiliki kinerja ekonomi baik tapi tidak diikuti dari sisi kinerja penerimaannya.
Sekjen Kemenkeu Hadiyanto optimistis dana repatriasi dalam kebijakan tax amnesty masih akan betah di Indonesia meskipun holding period 3 tahun berakhir. Hal tersebut dikarenakan pemerintah terus melakukan perbaikan iklim investasi, baik dari sisi regulasi perizinan maupun insentif.
“Kami yakin dana yang sudah masuk ke sini akan tetap dan terus digunakan berinvestasi di Indonesia,” katanya.
Seperti diketahui, batas waktu pengalihan harta (repatriasi) untuk amnesti pajak periode I dan II adalah 31 Desember 2016. Dengan patokan tersebut, holding period untuk harta yang direpatriasi pada periode tersebut adalah 31 Desember 2019 atau bisa sebelum itu.
Berdasarkan data dalam Laporan Tahunan DJP 2016, total harta yang diungkapkan dalam amnesti pajak period I dan II senilai Rp3.460,80 triliun. Dari jumlah tersebut, harta repatriasi tercatat senilai Rp114,16 triliun.
Bank Dunia dalam laporan bertajuk ‘Time to ACT: Realizing Indonesia’s Urban Potential’ memaparkan realisasi penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) Indonesia hanya 0,57% dari PDB. Ini menjadi salah satu angka terendah di antara negara-negara G20.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan dan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng berpendapat rendahnya pemungutan PBB bisa dikarenakan sulitnya mendapatkan data objek pajak. Selain itu, dibutuhkan penguatan kapasitas administrasi perpajakan dan perbaikan kebijakan. (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.