JAKARTA, DDTCNews – Pagi ini, Rabu (26/4), kabar datang dari pemerinah yang akan merevisi UU PPh. Selai tarif pajak penghasilan (PPh), pemerintah juga akan mengubah basis penghitungan pajak.
Staf Ahli Menteri Keuangan bidang Kepatuhan Pajak sekaligus Ketua Tim Reformasi Pajak Suryo Utomo mengatakan revisi UU PPh ini rencananya akan dibahas lebih tajam pasca kuartal II.
Usulan yang masuk, pertama, penurunan tarif PPh Badan. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) melihat PPh badan bisa turun sebesar 2% atau kurang. Kedua, Ditjen Pajak juga mengusulkan penghapusan penghitungan PPh Final untuk beberapa sektor industri, antara lain konstruksi dan properti. "Perubahan tarif masih dikaji. Yang jelas kami ingin simplifikasi," ujarnya, Selasa (25/4).
Berita lain datang dari kalangan perbankan yang mulai membuka diri terhadap implementasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait AEoI dan DPR yang terus mendorong ekstensifikasi objek cukai. Berikut ulasan selengkapnya:
Perbankan di Indonesia nampaknya mulai membuka pintu atas implementasi Perppu AEoI. Direktur Keuangan dan Treasuri PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Iman Nugroho Soeko mengatakan penerapan keterbukaan data rekening nasabah tidak akan menimbulkan gejolak berarti, maupun mempengaruhi likuiditas dan penghimpunan dana pihak ketiga.
Menurutnya, kesepakatan AEoI menciptakan level bermain yang sama antarnegara dalam mengadopsi sistem keterbukaan informasi perbankan untuk keperluan pajak. Penerapan Perppu ini juga mendapat dukungan dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk, Perbanas, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin).
DPR terus mendorong pemerintah untuk menuntaskan kajian potensi objek cukai baru seperti kantong plastik, minuman berpemanis mengandung gula dan bahan bakar minyak dalam tenggat waktu 2 bulan. Sebab, selama ini penerimaan cukai masih terbatas pada tiga objek cukai, yakni cukai hasil tembakau, etil alkohol, dan minuman mengandung etil alkohol sehingga membatasi potensi penerimaan.
Perekonomian Indonesia dan beberapa negara di kawasan Asia diprediksi tidak banyak terpengaruh rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam merealisasikan sejumlah janji yang diusungkan dalam kampanye. Janji tersebut di antaranya pemotongan tarif pajak perseorangan dan penurunan tarif pajak korporasi sebesar 15%. Kendati demikian, Senior Ekonom Standard Chartered Aldian Taloputra menilai wacana ini justru memiliki risiko terhadap perekonomian AS.
Berdasarkan data Ditjen Pajak, jumlah wajib pajak yang melaporkan SPT tahun pajak 2016, hingga Jumat (21/4) sebanyak 10,58 juta wajib pajak. Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak Yon Arsal mengatakan realisasi itu naik 4,56% dari periode sama tahun lalu. Dari total SPT yang masuk, sebanyak 9,3 juta berasal dari wajib pajak perorangan karyawan, atau naik 2,91% dari pelaporan pada 2016 sebanyak 9,1 juta wajib pajak. Sedangkan SPT wajib pajak perorangan non-karyawan mencapai 926 ribu wajib pajak, naik 31,34% dibanding tahun sebelumnya. Sisanya, 305 ribu dari wajib pajak badan, naik 27% dari pelaporan SPT tahun lalu.
Pembahasan revisi UU Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) terus digodok oleh DPR. DPR optimis revisi beleid ini dapat segera disahkan dalam dua kali masa sidang yakni atau sekitar Agustus 2017. Wakil Ketua Komisi XI DPR Achmad Hafisz Thohir mengatakan, selain mendapat masukan kementerian dan lembaga terkait, DPR juga akan melakukan studi banding ke negara-negara yang memiliki rekam jejak dalam mengelola PNBP secara baik. (Amu)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.