REVISI UU KUP

Revisi UU KUP, Pemerintah Utamakan Prinsip Keadilan dan Kesetaraan

Denny Vissaro | Kamis, 08 Juli 2021 | 16:31 WIB
Revisi UU KUP, Pemerintah Utamakan Prinsip Keadilan dan Kesetaraan

Ilustrasi. 

JAKARTA, DDTCNews – Pemerintah memastikan pengaturan kembali sistem perpajakan melalui RUU KUP dilakukan dengan mengedepankan prinsip keadilan dan kesetaraan.

Dalam Naskah Akademis (NA) RUU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), pemerintah menyatakan akan tetap memperhatikan pemulihan ekonomi pascapandemi. Pada saat bersamaan, konsolidasi fiskal bertahap dilakukan sehingga defisit anggaran kembali ke bawah 3% PDB pada 2023.

“Jika dirancang secara komprehensif, dapat menghasilkan dampak positif dari sisi keuangan negara dan ekonomi makro,” tulis pemerintah dalam NA RUU KUP, dikutip pada Kamis (8/7/2021).

Baca Juga:
Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Setidaknya ada 4 kebijakan yang dilakukan dengan memperhatikan prinsip keadilan dan kesetaraan. Pertama, kebijakan penetapan natura dan kenikmatan sebagai objek pajak penghasilan (PPh). Hal ini dipercaya akan mendorong redistribusi penerimaan PPh badan dan PPh orang pribadi.

Pemajakan atas natura juga akan meningkatkan biaya perusahaan yang dapat menjadi pengurang pajak. Estimasi pemerintah, akan ada redistribusi karena penurunan penerimaan PPh pemberi kerja senilai Rp7,1 triliun dan peningkatan penerimaan PPh orang pribadi pekerja senilai Rp4,4 triliun.

Proyeksi peningkatan penerimaan PPh orang pribadi tersebut berpotensi lebih besar seiring dengan kebijakan perubahan tarif dan lapisan (bracket) PPh orang pribadi. Di sisi lain, kebijakan tersebut juga akan meningkatkan transfer ke daerah dari Dana Bagi Hasil (DBH) PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25 PPh orang pribadi.

Baca Juga:
PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Pemerintah mengakui pengaturan kebijakan penetapan natura dan kenikmatan sebagai objek PPh yang tidak dirancang dengan saksama dan hati-hati dapat mendistorsi kegiatan perekonomian.

“Namun, apabila dirancang secara tepat maka implementasi atas kebijakan tersebut dapat memperkuat keuangan negara dan berdampak positif terhadap kondisi perekonomian nasional,” lanjut pemerintah.

Kedua, terkait dengan perubahan tarif dan bracket PPh orang pribadi. Berdasarkan data Kemenkeu, populasi wajib pajak orang pribadi pada saat ini paling banyak berada pada lapisan pertama, yakni 84,0% dari total populasi. Ada sebanyak 8,81 juta orang memiliki penghasilan Rp0 – Rp50 juta.

Baca Juga:
Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

Kemudian, populasi wajib pajak pada lapisan kedua adalah sebesar 12,1% atau sebanyak 1,27 juta orang yang memiliki penghasilan di atas Rp50 juta sampai dengan Rp250 juta. Populasi wajib pajak pada lapisan ketiga adalah sebesar 2,3% atau sebanyak 240.313 orang yang berpenghasilan di atas Rp250 juta sampai dengan Rp500 juta.

Untuk ketiga lapisan ini, tidak diusulkan perubahan lapisan ataupun tarif. Dengan demikian, mayoritas wajib pajak sebetulnya tidak akan terdampak. Terakhir, populasi wajib pajak pada lapisan keempat adalah sebesar 1,64% atau sebanyak 166.728 orang berpenghasilan di atas Rp500 juta.

Lapisan keempat ini akan dibagi menjadi dua. Sebanyak 3.815 wajib pajak orang pribadi dengan penghasilan di atas Rp5 miliar akan dikenakan tarif sebesar 35%.

Baca Juga:
Bingkisan Natal Tidak Kena Pajak Natura Asalkan Penuhi Ketentuan Ini

“Jumlah penghasilan kena pajak yang akan masuk dalam bracket ini adalah sebesar Rp49 triliun. Jika jumlah tersebut dikenakan tarif progresif hingga 35%, kelompok wajib pajak ini akan menyumbang pajak penghasilan sebesar Rp16 triliun atau sebesar 19,7% dari total keseluruhan PPh orang pribadi,” imbuh pemerintah.

Ketiga, tindak lanjut putusan Mutual Agreement Procedure (MAP) dalam rangka meningkatkan kepastian hukum. Keempat, penghapusan fasilitas pengurangan tarif Pasal 31E. Simak ‘Ini Alasan Pemerintah Hapus Fasilitas Diskon Tarif Pasal 31E UU PPh’.

Dengan asumsi kebijakan penghapusan fasilitas pada Pasal 31E UU PPh berkorelasi negatif dengan jumlah belanja perpajakan terkait, sambung pemerintah, proyeksi potensi penerimaan PPh senilai Rp2.637,41 miliar. (kaw)


Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Rabu, 25 Desember 2024 | 11:30 WIB PMK 94/2023

Pemerikaan Pajak oleh DJP terhadap Kontraktor Migas, Apa Saja?

BERITA PILIHAN
Kamis, 26 Desember 2024 | 13:00 WIB PROVINSI JAWA TIMUR

Opsen Berlaku 2025, Pemprov Turunkan Dasar Pengenaan Pajak Kendaraan

Kamis, 26 Desember 2024 | 12:30 WIB ADMINISTRASI PAJAK

PKP Risiko Rendah Diterbitkan SKPKB, Kena Sanksi Kenaikan atau Bunga?

Kamis, 26 Desember 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS PAJAK DAERAH

9 Jenis Pajak Daerah Terbaru yang Ditetapkan Pemkot Sibolga

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:30 WIB KILAS BALIK 2024

Januari 2024: Ketentuan Tarif Efektif PPh Pasal 21 Mulai Berlaku

Kamis, 26 Desember 2024 | 10:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Kredit Investasi Padat Karya Diluncurkan, Plafonnya Capai Rp10 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:30 WIB PENGAWASAN BEA CUKAI

Libur Natal dan Tahun Baru, Bea Cukai Perketat Pengawasan di Perairan

Kamis, 26 Desember 2024 | 09:00 WIB CORETAX SYSTEM

Fitur Coretax yang Tersedia selama Praimplementasi Terbatas, Apa Saja?

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:45 WIB BERITA PAJAK HARI INI

PPN 12 Persen, Pemerintah Ingin Rakyat Lebih Luas Ikut Bayar Pajak

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:30 WIB KOTA BATAM

Ada Pemutihan, Pemkot Berhasil Cairkan Piutang Pajak Rp30 Miliar

Kamis, 26 Desember 2024 | 08:00 WIB KEBIJAKAN PEMERINTAH

Bagaimana Cara Peroleh Diskon 50 Persen Listrik Januari-Februari 2025?