Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Wajib pajak yang telanjur membayar pajak penghasilan (PPh) atas natura dan/atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh sepanjang 2022 bisa melakukan restitusi. Topik ini menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (7/7/2023).
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengatakan seluruh natura yang diterima atau diperoleh sepanjang 2022 dikecualikan dari objek PPh. Untuk itu, wajib pajak dapat mengajukan permohonan restitusi dengan melakukan pembetulan atas SPT yang sudah dilaporkan kepada otoritas.
"Kalau yang sudah telanjur bayar, mau diikhlaskan ya boleh. [Namun] kalau pengen diminta balik ya monggo, betulkan SPT-nya," katanya.
Ketentuan mengenai permohonan restitusi pajak tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 187/2015. Perlu dicatat, pengajuan restitusi dilakukan setelah wajib pajak melakukan pembetulan SPT Tahunan.
Sebelum PMK 66/2023 terbit, ketentuan natura masih mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) 55/2022. Beleid itu mengatur kewajiban pemotongan PPh natura dan/atau kenikmatan oleh pemberi kerja mulai berlaku untuk penghasilan yang diterima atau diperoleh sejak 1 Januari 2023.
Adapun penghasilan natura dan/atau kenikmatan yang diterima pada tahun pajak 2022 dan belum dilakukan pemotongan PPh, masih sesuai dengan PP 55/2022, wajib dihitung dan dibayar sendiri serta dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh tahun pajak 2022 oleh penerimanya.
Selain restitusi, ada pula ulasan mengenai dampak pajak natura terhadap karyawan, outing kena pajak natura atau tidak, tarif sanksi bunga pajak daerah yang bervariasi, potensi penerimaan pajak natura, dan lain sebagainya.
Ditjen Pajak (DJP) memandang pengenaan pajak penghasilan atas natura dan/atau kenikmatan tidak akan berdampak pada gaji yang diterima sebagian besar karyawan.
Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan pengecualian sejumlah natura dari objek PPh beserta batasannya diatur dalam PMK 66/2023. Menurutnya, natura yang menjadi objek pajak kebanyakan dinikmati oleh kalangan eksekutif di suatu perusahaan.
"[Kebanyakan karyawan] malah tambah makmur, dapat fasilitas. Bagi yang level atas, kemungkinan iya [berpengaruh pada take home pay]," katanya. (DDTCNews, CNN Indonesia)
Ditjen Pajak (DJP) memastikan kegiatan outing kantor tidak akan dikenakan sebagai objek Pajak Penghasilan (PPh).
Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan bahwa kegiatan outing atau tamasya karyawan bukan sebagai objek natura dan merupakan bagian dari biaya operasional perusahaan yang bersangkutan.
"Sebenarnya [outing] biaya operasional perusahaan, konteksnya jaga kesehatan mental karyawan biar tidak stress di kantor. Jadi, itu tidak harus jadi semacam natura," ujarnya. (bisnis.com)
Besaran sanksi administrasi bunga dalam ketentuan pajak daerah bakal bervariasi dari 0,6% hingga 2,2% mulai tahun depan, tidak lagi dipatok sebesar 2% sebagaimana yang berlaku saat ini.
Kepala Subdirektorat Pengembangan Potensi Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Ditjen Perimbangan Keuangan (DJPK) Fadliya menyebut sanksi bunga didesain bervariasi berdasarkan jenis pelanggaran guna meningkatkan kepatuhan sukarela wajib pajak.
"Ini hal baru di PP 35/2023. Ini sesungguhnya kami mengambil dari praktik pada ketentuan pajak pusat," katanya dalam diseminasi PP 35/2023 tentang KUPDRD. (DDTCNews)
Ditjen Pajak menilai potensi penerimaan pajak penghasilan (PPh) dari penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan tidak besar.
Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan PMK No. 66/2023 mengatur pengecualian sejumlah natura dan/atau kenikmatan dari objek PPh beserta batasannya. Menurutnya, pajak atas natura hanya dikenakan pada objek yang memang pantas.
"Justru karena batasan tertentunya sangat layak, enggak akan banyak sih penerimaan dari PPh Pasal 21 karyawannya. Kami yakin enggak [besar]," katanya. (DDTCNews, kontan.co.id)
Ditjen Pajak menegaskan tidak pernah membentuk satuan tugas (satgas) khusus untuk mengawasi kepatuhan wajib pajak kaya (high wealth individual/HWI).
Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo mengatakan pemerintah hanya membentuk komite kepatuhan wajib pajak yang bertujuan untuk mengawasi pengelolaan risiko kepatuhan atau compliance risk management (CRM).
"Kalau dikatakan ada satgas yang mengelola HWI, itu tidak benar. Yang benar, kami membangun cara kami bekerja yang konsisten ke depan melalui komite kepatuhan," katanya. (republika.co.id) (rig)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.